Baru terungkap bahwa selama ini buku IPS kelas 6 SD terbitan Yudhistira menjelaskan bahwa ibukota Israel yakni Yerusalem. Sementara Palestina tidak ada. Yudhistira mengklarifikasi melalui surat jika data buku itu diambil dari sumber internet.
Menanggapi adanya kekeliruan penerbit dalam menyusun buku IPS soal Israel, Wakil Ketua Komisi Perempuan Remaja dan Keluarga (PRK) MUI, Zahrotun Nihayah, mengakui bahwa pembuatan buku tersebut merupakan manipulasi akting, manipulasi sejarah. Sehingga banyak sejarah yang jelas kebenarannya, malah dimanipulasi.
“Enggak benar yang seperti itu,” ujarnya kepada wartawan majalahnurani.com, Rabu (13/12/2017).
Jadi kalau ada kekeliruan, tegas Zahrotun, entah itu alasannya mau salah cetak, atau kesengajaan, penyusun itu harusnya tahu. Apakah dari sumber yang lain juga membenarkan? Ternyata masih dalam perdebatan.
“Lha kok malah copy paste tanpa dipikir. Itu tetap kesalahan penulis, pengarang buku. Mungkin kesalahannya di prosedur penulisannya dan etika,” katanya.
Zahrotun menyarankan agar Pusat Kurikulum dan Perbukuan, mestinya harus betul-betul diawasi, dievaluasi, buku teks, buku cetak, terutama buku pelajaran. Sekarang ini, buku dipakai ebagai komoditas. Untuk jualan di sekolah dengan paket buku harganya sangat tinggi.
“Penulis itu harus dilihat kompetensi. Demikian juga dengan guru tidak semua punya kualifikasi menulis buku teks. Mesti ada harus standar kompetensi, kualifikasi untuk para penyusun buku,” saran dia.
Zahrotun yang juga Ketua Pusat Layanan Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menerangkan, terlepas dari itu, pembelajaran anak di Indonesia masih knowing, bukan being. Knowing itu hanya sekadar tahu tapi tidak paham.
“Jadi masih pada tataran itu. bukan being. Untungnya seperti itu. Jadi anak juga belum paham apa itu Israel, Palestina, Yerusalem,” lanjut Zahrotun.
Dari pengamatannya, pendidikan seperti ini memang hanya hafalan saja. Siswa tidak diajak pada tataran aplikasi melakukan. Jadi kalau baik, siswa hanya tahu itu sekadar baik, tapi tidak dilakukan bagaimana melaksanakan kebaikan itu.
“Dan itu tidak sampai pada tataran being,” tukasnya.
Ditambahkan Sekertaris Komisi PRK MUI, Trisna Ningsih, kadang memang buku pelajaran itu tidak memenuhi standar. Artinya tidak dicek ulang, setelah disusun. Ketika ada kekeliruan dan sudah dipelajari, maka sama halnya memberi pemahaman yang salah kepada anak. Termasuk pada buku IPS soal ibukota Israel.
“Ketika sudah disusun, buku itu tidak dicek dulu. Kalau sudah dipelajari anak, maka kedepan pemahaman anak juga akan sulit diperbaiki,” tutur dia saat diwawancarai majalahnurani.com, Rabu (13/12/2017).
Menurut Trisna yang juga Ketua Umum PP Muslimat Mathlaul Anwar, buku tersebut harus ditarik ulang, kemudian diperbaiki karena memang sudah jelas salah. Di sisi lain, sejak beredarnya buku tersebut, sangat disayangkan karena baru sekarang terungkap.
“Kenapa sampai tahunan juga tidak ada yang komplain? Mungkin ini juga menjadi evaluasi kita yang lalai,” sambungnya.
Tidak Cermat
Menanggapi soal Yudhistira yang mengakui dalam surat pemberitahuan, bahwa pihaknya mengambil data dari sumber internet, dan mengakui bahwa data tersebut ternyata masih menjadi perdebatan, Ketua Umum Forum Bahasa dan Sastra, Prof Bambang Yulianto menilai hal tersebut tidak cermat.
“Dugaan saya, ini dikarena ketidakcermatan. Kadang-kadang asal cepat dapat lalu tidak cermat. Dan yang menyusun, mengutipnya tidak memahami konteks di luar. Terlepas dari apakah ada maksud lain atau tidak, secara netral saya melihatnya seperti itu,” jelasnya kepada wartawan majalahnurani.com, Rabu (13/12/2017).
Dikatakan Prof Bambang yang juga Dekan Fakultas Bahasa Universitas Negeri Surabaya (Unesa), bahwa orang mengutip harus tahu. Artinya mengutip itu sebagai penguatan apa yang sudah diyakininya. Bukan sekadar mengutip, karena tidak tahu lantas asal mengambil data dan mengutip dari sumbernya.
“Ketika substansi isi yang dikutip diperkirakan atau berdampak tidak baik, semestinya tidak dipilih,” sambungnya.
Seperti halnya membuat buku, soal-soal ujian, bahan dari kutipan manapun bisa. Substansi isi tidak terlalu penting sumbernya. Tapi sangat penting kebenarannya. Jika substansi pernyataan diambil dan berdampak buruk, salah kepada masyrakat, tentu harus dibuang.
“Sehingga tidak boleh mengutip sembarangan, meskipun itu hanya nama. Harus diperhatikan kebenarannya dan dampaknya bagi masyarakat,” terang dia. Bagus