Kejahatan terorisme di Indonesia dewasa ini cukup mengkhawatirkan. Kasus Bom Surabaya, Sidoarjo dan Poltabes, meneguhkan betapa ruang gerak pelaku teror masih mudah. Apalagi trend kejahatah teror dewasa ini melibatkan anak sebagai pelaku. Menyikapi ganasnya kejahatan terorisme, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perlu menyampaikan gerakan terorisme di Indonesia terus mengalami pergeseran, dari tahun ke tahun.
POLA REKRUTMEN
Ketua KPAI DR Susanto MA kepada majalahnurani.com menguraikan, pola rekrutmen menjadi “pengantin” pun juga terus bergeser. Masyarakat luas perlu mengetahui terjadinya pergeseran modus tersebut, agar upaya pencegahan bisa dilakukan sedini mungkin. Saat ini rekrutmen pelaku jaringan terorisme menggunakan berbagai pola.
“Pertama, melalui modus perkawinan (sebagaimana kasus bekasi). MNS Menikahi Dian Yulia Novi yg baru dikenal 3 bulan lewat media sosial,” tuturnya Selasa (15/5/2018).
Kedua, lanjutnya, modus indoktrinasi melalui media sosial. Pola ini seringkali dipilih oleh para mentor jaringan teroris, termasuk dengan sasaran usia dan remaja yang akan dilibatkan dalam aksi terorisme.
Melalui media sosial, injeksi radikalisme bisa tumbuh dan berkembang. Ketiga, patronase guru. Penyusupan melalui guru untuk melakukan rekrutmen pelaku teror perlu diwaspadai. Karena mentoring menjadi radikalis apalagi teroris cukup efektif melalui patronase guru.
“Anak sangat mudah terpengaruh untuk mengikuti, mengingat guru sebagai sosok yang diyakini pembawa kebenaran,” tambahnya.
Ketiga, infiltrasi terorisme melalui institusi keluarga. Menurut Susanto, modus melalui proses pengasuhan tidak mudah dideteksi, karena terjadi pada ruang-ruang tak terpantau oleh orang sekitar.
“Kasus Surabaya menjadi contoh betapa ortu merelakan anak dilibatkan dalam aksi terorisme yang kejam,” kata dia.
INDROKTRINASI TERORISME
Mencermati kasus kejahatan teror dari tahun ke tahun di berbagai daerah, KPAI mengamati bahwa modus yang diduga melibatkan anak dalam aksi teror terjadi di sejumlah titik, diantaranya; Surabaya, Poltabes, Rusunawa Sidoarjo, Kab Toli Toli, Samarinda Kaltim, Medan Sumatera Utara dan sejumlah daerah lain. Pola pelibatan anak dalam jaringan terorisme terjadi di berbagai level.
“Jika dikategorisasikan, jaringan terorisme dapat kelompokkan ke dalam 5 group, yaitu; Pertama, kelompok eksekutor yaitu terlibat aktif dilapangan melakukan aksi teror. Sejumlah kasus anak dilibatkan dalam aksi teror di sejumlah titik daerah,” paparnya.
Kedua yakni kelompok perencana dan pengatur lapangan. Dijelaskan Susanto, kelompok ini memilih waktu, lokasi dan momentum yang dianggap tepat dalam melakukan aksinya.
Dalam sejumlah kasus, anak juga dilibatkan dalam perencanaan sebelum melakukan aksinya. Ketiga, kelompok mentor.
“Kelompok mentor ini berperan mencari dan melakukan pembibitan kader teroris. Infiltrasi yang dilakukan biasanya melalui berbagai pendekatan, termasuk juga infiltrasi melalui satuan pendidikan, jaringan organisasi tertentu dan pertemuan rutin atas nama agama,” ujar Susanto.
Mentor utama, seringkali juga memanfaatkan anak dan remaja untuk melakukan mentoring kelompok sebaya. Keempat, kelompok penyandang dana.
Menurut Susanto ini seringkali tak terdeteksi, namun berkontribusi besar terhadap kesuksesan aksi teror yang dilakukan. Kelima, kelompok simpatisan. Kelompok ini tidak terlibat aktif, melakukan aksi teror, namun memberikan dukungan moral terhadap aktifitas yang dilakukan oleh jaringan terorisme.
“Mencermati indoktrinasi terorisme dengan sasaran usia anak, output dari indoktrinasi yang dilakukan jaringan teror biasanya tidak langsung mengarah pada direct violence agar anak terlibat dalam aksi bom, namun pada tahap tertentu, anak juga terlibat menebarkan ekspresi kebencian,” terangnya.
Ekspresi itu kebencian terhadap pemerintah, terhadap aparat negara, terhadap sistem negara serta terhadap kelompok lain yang tidak sefaham. Pola penyebarannya, sambung Susanto, umumnya memilih jalan aman. Meminjam istilah Lorne L. Dawson, sistem penyebaran faham teror seringkali bersifat interpersonalisme.
“Sistem ini menyebar secara personal ke personal lain secara masif, sehingga pola geraknya sulit dilacak. Maka, deteksi dini harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik pihak sekolah, keluarga, guru ngaji, dan masyarakat,” katanya.
INOVASI PENDIDIKAN
Mengingat trend indoktrinasi radikalisme dan terorisme saat ini menyasar keluarga, KPAI meminta Pemerintah Daerah perlu melakukan inovasi pendidikan pengasuhan kepada calon pengantin dan semua kelompok pasangan baik.
“Pasangan muda dan tua agar mengembangkan pengasuhan yang positif, penuh kasih sayang dan tanpa radikalisme,” pungkasnya. 01/Bagus