Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menandatangani nota kesepahaman yang bertujuan menyiapkan masa transisi kewajiban d sertifikasi halal.
Menurut MUI, menjelang pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal mulai 17 Oktober 2019, kerja sama pada masa transisi akan memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha dan semua pihak yang terkait dengan jaminan produk halal (JPH).
“MUI sangat konsen untuk terlibat dalam sertifikasi halal. Makanya kami justru ingin membantu, menanyakan ke BPJPH terkait bisnis proses. Kami ingin mengambil kesepakatan agar keputusan yang kita ambil tidak menyulitkan bagi pihak yang akan melaksanakan sertifikasi halal,” ungkap Wakil Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, Abdul Kholik dalam siaran pers Jumat (13/9/2019).
MELIBATKAN BANYAK PIHAK
Setiap hal terkait proses bisnis penyelenggaraan JPH menjadi hal yang harus dicermati antar pihak, termasuk MUI. Karena penyelenggaraan sertifikasi halal itu melibatkan banyak pihak.
Kholik menyatakan, BPJPH, MUI, LPH, Kementerian dan Lembaga terkait perlu ditingkatkan kemampuan dan sumber dayanya agar siap menyongsong pemberlakukan mandatori sertifikat halal.
Kholik menilai perbedaan bisnis proses antara MUI, dalam hal ini LPPOM MUI dan Komisi Fatwa, dan BPJPH jangan sampai menyulitkan pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal.
“Proses bisnis di MUI sudah desentralisasi. Dalam arti, tiap propinsi sudah menyelenggarakan sertifikasi produk halal di masing-masing daerahnya,” sambungnya.
PENETAPAN KEHALALAN
Dijelaskannya, LPPOM MUI maupun komisi fatwa di daerah punya otonomi untuk melakukan tugas masing-masing, baik mengaudit produk maupun penetapan kehalalan produk.
“Kalau ingin apple to apple, BPJPH juga harus membangun sistem kerja seperti itu. Agar pelayanannya mendekatkan ke dunia usaha,” tandasnya. Bagus