Nenek Antinah Korban Dugaan Mafia Tanah di Mojokerto, Ada Sertifikat Palsu, Lapor Kapolri

Kasus dugaan mafia tanah terjadi di Mojokerto. Kali ini korbannya bernama Antinah, nenek berusia 81 tahun warga Dusun Urung-Urung RT 001/RW 005, Desa Kebonagung, Kecamatan Puri Kabupaten Mojokerto yang kesehariannya sebagai buruh Tani.

Sebidang tanah milik Nenek Antinah diduga kuat diserobot oleh seseorang berinisial “SW” seperti tertulis di sertifikat tanah yang sebenarnya tidak pernah dijual oleh nenek Antinah kepada siapapun. Atas kezaliman itu, keluarga nenek Antinah meminta bantuan hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Djawa Dwipa di Mojokerto.

Dalam rilis yang dilakukan LBH Djawa Dwipa pada Sabtu (18/12) siang di kantornya jl Banjarsari no 59 Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto, nenek Antinah dan putranya, Suryanto dihadirkan. Ibu dan anak itu mengaku tidak pernah menjual tanah Sertifikat Hak Milik (SHM) dengan nomer 501 kepada SW yang namanya tiba-tiba tertulis di SHM tanah yang disengketakan tersebut.

Hadi Purwanto SH,ST selaku Ketua LBH Djawa Dwipa mengatakan bahwa selaku kuasa hukum dari nenek Antinah pihaknya resmi melaporkan SW dan para pihak kepada Kapolri. Dirinya berharap Kapolri dan jajarannya menangkap pelaku yang sudah tega memalsukan dan menggelapkan SHM nomor 501 miliki nenek Antinah.

“Alat bukti dan barang bukti sudah lengkap,” terang Hadi kepada awak media, Sabtu (18/12).

Nenek Antinah dan Hadi Purwanto Ketua LBH Djawa Dwipa

Dijelaskan Hadi lebih lanjut. Kasus ini bermula pada tahun 2001 silam dimana nenek Antinah hendak menjual sebidang tanah kepada SW. Luasan tanah tersebut sekitar 2.300 meter persegi dengan harga Rp12,5 juta. Akan tetapi saat itu nenek Antinah sudah berkata kepada SW bahwa sertifikat tanah yang hendak dijual itu sedang dipinjamkan ke orang lain. Maka otomatis SW meminta jaminan lain untuk kepercayaan pegangan saja bukan untuk perubahan. Maka diserahkanlah sertifikat tanah yang lain dengan area yang lebih luas sekitar 3.300 meter persegi sebagai jaminan kepercayaan. Tanah seluas 3.300 meter persegi tersebut kemudian tercatat sebagai SHM nomor 501.

Baca juga  Menag Terbitkan SE agar Penyuluh dan Penghulu Dukung 4 Program Pemerintah

“Dibawalah sertifikat itu oleh SW, Saat itu ada perjanjian lisan nanti sertifikat bisa ditukarkan, tetapi belum lama kemudian sertifikat itu di balik nama atas SW,” ungkap Hadi.

Perkara terkuak ketika Padi, ayah Antinah dan Suryanto (anak Antinah) hendak menukarkan sertifikat tanah yang dijual dengan sertifikat tanah yang dijaminkan untuk SW. Saat itu SW tidak mau. Maka Suryanto mengadu ke pemerintah desa setempat untuk diselesaikan.

“Saat itu terkuak sertifikat itu sudah dibalik nama menjadi milik SW. Pihak desa menyaksikan pernyataan SW bahwa masalah ini akan diselesaikan baik-baik pada bulan Januari tahun 2001. Tetapi apa yang dilakukan SW? Tidak pernah dilakukan. Akhirnya salah satu pihak keluarga korban ke kantor kami dan berkonsultasi,” urai Hadi.

Hadi menambahkan, sertifikat yang diduga dipalsukan itu kemudian diagunkan untuk menarik dana segar dari Bank BRI. Kisaran harga jual tanah yang diagunkan itu saat ini seharga Rp800 juta hingga Rp1 milar. Kemudian SW ada tahun 2016 menjual lagi tanah yang awalnya dibeli dari Nenek Antinah kepada pihak lain dan laku Rp350 juta.

“Jadi untuk saat ini SHM nomor 501 dipegang SW. Sementara tanah SHM yang sudah dijual SW itu sertifikat aslinya masih dipegang Mbok Antinah, Pertanyannya dia (SW) jual itu pakai sertifikat apa? Ini kalau bukan seorang yang intelek, mafia tanah, tidak mungkin bisa dobel-dobel menerbitkan dokumen, itu keyakinan kami,” imbuh Hadi.

Hadi kembali menguraikan. Sejarah tanah dengan SHM nomer 501 itu awalnya milik Padi, ayah dari Antinah. Kemudian entah darimana asalnya muncul surat keterangan ahli waris dengan dua nama, yakni nenek Antinah dan adiknya, Kholifah. Surat keterangan ahli waris itu buatan pemdes Kebonagung. Namun kemudian muncul sertifikat tanah tersebut menjadi milik SW.

“Jadi pemegang asli namanya Padi, ulah SW dengan surat keterangan ahli waris Kebon Agung tercetaklah nama dua, yakni Antinah dan Kholifah, diterbitkan ada surat seolah-olah Kholifah ini ada kuasa jual ke Antinah, padahal ini bukan mbok Antinah ini yang jual, makanya siapa nanti saya harap polisi tahu kontruksi perkaranya,” tukas Hadi.

Baca juga  Aksi Militer Iran Merupakan Respons Terhadap Agresi Rezim Jahat Zionis

Hadi menegaskan, setelah Padi meninggal dunia, kemudian ada perubahan pemilik tanah beralih ke Antinah dan kholifah. Sebenarnya perubahan hak milik tanah itu tidak pernah dimohonkan oleh Antinah. Namun keanehan lain kemudian muncul sertifikat atas tanah yang sama dengan status milik SW.

“Padahal Antinah tidak pernah menjual tanah itu kepada siapa pun. Tidak pernah ada jual beli terhadap SHM tersebut. Jadi lahan tersebut tidak pernah dijual,” tegas hadi.

Hadi pernah melakukan penelusuruan terhadap Notaris pengganti yang didapat kesimpulan sementara seolah-olah Nenek Antinah ini menjual ke SW. Padahal Antinah tidak pernah tahu atau pernah menghadap notaris.

“Notarisnya meninggal dunia. Dokumen itu kan masih tersimpan di notaris pengganti, jadi kami berkeyakinan dokumen itu masih ada dan utuh, jadi nanti kepolisian yang membuka itu, kalau kita yang nanya mereka tertutup, kita doakan mbok Antinah panjang umur biar masalah ini selesai,” imbuh Hadi.

Hadi juga menyebut ahli Waris keluarga juga tidak pernah meminta surat kuasa jual, tidak pernah siapapun dari ahli waris yang menghadap notaris. Hadi kemudian bisa memahami kontruksinya bagaimana SW ini bisa menjadikan tanah itu menjadi uang, karena endingnya SHM dengan nama SW itu dijadikan agunan ke bank.

“Padahal secara fakta ini milik bu Antinah, istilahnya beli lahan modal dengkul, ini 2001, jadi saya pastikan keluarga beliau memang butuh pembelaan, jadi dokumen-dokumen surat itu ada “sutradaranya” dari tingkat bawah sampai akhir, dia modusnya sudah jelas untuk merubah dan untuk mendapatkan dana segar BRI, yang jelas SW sawahnya banyak, nah perbuatan-perbuatan ini yang kami yakini tidak boleh, melanggar, apakah perbuatan yang sudah dilakukan merubah fakta otentik itu dibenarkan enggak? Bisa dipertanggungjawabkan enggak?,” kata Hadi.

Baca juga  PBNU: Serangan Iran ke Israel Bentuk Kemarahan Dunia

Lebih lanjut Hadi menyampaikan, pertimbangan melaporkan kasus ini langsung ke Kapolri adalah karena pertimbangan perasaan, serta bukan bermaksud mengkambing hitamkan pihak berwenang di tingkat kabupaten.

“Kami surat menyurat selalu dibalas oleh Bareskrim dan Kompolnas, Kami bukan mengkambinghitamkan jajaran di sini, kami ingin Kapolri membaca deritanya bu Antinah, kami tidak main-main, biar kapolri saja beliau masih termasuk polisi yang baik, kalau mbok Antinah sudah meninggal dunia maka perkara ini akan hilang,” pungkas Hadi.

Di tempat yang sama, penasehat hukum nenek Antinah dari LBH Djawa Dwipa Zamroni SPdi,Sh MH mengatakan, pemalsuan keterangan dan pemalsuan akta otentik yang telah SW dan para pihak lakukan adalah sebuah peristiwa pidana.
“Mereka kita laporkianj dengan jerat Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP dan atau Pasal 266 KUHP serta pasal 372 KUHP,” jelas Zamroni.

Zamroni menegaskan bahwa SW tidak punya hak mengatasnamakan sertifikat no 501 atas nama dirinya. Lantas dasar sertifikat beralih ke SW dengan akte jual beli juga dipertanyakan karena nenek Antinah dan Kholifah selaku ahli waris yang sah dari Alm Padi tidak pernah mengalihkan kepada siapapun.

Sementara itu Suryanto, Anak Antinah menyatakan bahwa ia mewakili keluarganya berharap pelaku pemalsuan dan penggelapan SHM nomor 501 ditangkap dan dihukum seadil-adilnya.

“Sertifikat ini yang dipalsu itu sekarang harganya perkiraan mencapai Rp1 milyar, Saya ingin memperoleh keadilan, semoga bapak Kapolri bisa menangkap dan menghukum pelaku pemalsuan dan penggelapan SHM milik mibu saya tersebut,” pungkas Suryanto. ym

Leave a Reply

Your email address will not be published.

News Feed