Guru Besar Unair Ajak Masyarakat Sempurnakan Gigi Sehat dengan Siwak

Masalah kesehatan gigi dan mulut masih menjadi pekerjaan rumah yang belum kunjung usai. Pernyataan tersebut terlihat dari hasil penelitian dalam skala nasional maupun internasional. Pada salah satu aspek kesehatan gigi dan mulut, yaitu gigi karies, angka kejadian gigi karies secara global masih dinilai tinggi. Sejalan dengan kondisi global, hasil Riskesdas 2018, masih didapatkan angka kejadian gigi karies yg juga dinilai tinggi.

Menurut Guru Besar Universitas Airlangga Prof Dr drg Taufan Bramantoro MKes, gigi dan mulut tidak lagi hanya tentang nyeri. Permasalahan gigi dan mulut dinilai hanya memiliki dampak terhadap rasa nyeri yang muncul ketika kondisi akut. Menariknya, rongga mulut adalah sebuah sistem yang merupakan bagian dari sistem tubuh secara umum. “Hal ini berarti bahwa dampak permasalahan kesehatan gigi dan mulut tidak hanya berhenti mengenai ada atau tidak adanya rasa nyeri, melainkan juga memiliki dampak secara sistemik,” ungkapnya dalam pidato ilmiah saat pengukuhan Guru Besar Unair pada Rabu (26/7) di Kampus C Unair Surabaya.

Dipaparkan, menilik perkembangan terbaru penelitian kesehatan gigi dan mulut di masyarakat, didapatkan bukti ilmiah bila permasalahan kesehatan gigi dan mulut dapat berdampak lebih luas. Diantaranya berdampak risiko pada kondisi kehamilan dan janin, melemahnya otot tubuh, mengganggu keseimbangan tubuh, hingga bahkan memiliki potensi mempengaruhi penurunan daya kognitif seseorang. “Sekali lagi, gigi dan mulut tidak lagi hanya tentang nyeri,” sambungnya.

Di tengah gencarnya upaya promotif dan preventif kesehatan gigi, ternyata terdapat dilema antara gigi sehat dan lingkungan sehat. Keberadaan sikat gigi ternyata dapat mengancam stabilitas kehidupan di lautan, dan sebagai konsekuensinya, akan berdampak pada kehidupan manusia secara umum. Informasi yang didapat dari national geographic. Berdasarkan estimasi pemakaian sikat gigi di Amerika Serikat, terdapat potensi sampah sikat gigi hingga mencapai 1 miliar per tahunnya. Bila diestimasi kalkulasi dengan ukuran global, diperkirakan dapat mencapai sekitar 23 miliar sampah sikat gigi per tahun. Ironisnya, informasi yang dilansir dari laman wwf.org.au, sampah sikat gigi dengan bahan dasar adalah polypropylene dengan kombinasi nylon sebagai bulu sikatnya, ternyata membutuhkan waktu sekitar 500 tahun untuk terdegradasi. Merujuk 2 dimensi besar bahwa gigi dan mulut tidak lagi hanya tentang nyeri. Apakah ini saatnya untuk menyerah? Kenyataan bahwa upaya promotif dan preventif ternyata belum cukup adekuat menurunkan kejadian masalah kesehatan gigi dan mulut, dan ironisnya, upaya tersebut pun bergesekan dengan dimensi lingkungan.

Baca juga  Mandiri Sahabatku 2024 Wadah PMI, Dorong Ekonomi Kerakyatan

“Jawabannya tentu tidak, terdapat salah satu kunci jawaban solusi yang ternyata sudah ada di sekitar kita sejak sangat lama. Sebuah legenda hidup yang penuh ketawadhu’an sebagai kekayaan peradaban kesehatan gigi masa lampau, bukan puluhan tahun ke belakang, tetapi ribuan tahun yang lalu. Legenda yang terus bertahan dengan fungsi dan fitur yang sama persis hingga saat ini. Legenda tersebut adalah siwak,” urai Prof Taufan.

Diceritakan bahwa kisah siwak sebagai legenda ini diperkirakan oleh para peneliti telah dimulai sejak sekitar 3000 tahun sebelum masehi di masa Babilonia. Pemanfaatan siwak di masa lampau memiliki fungsi dan fitur sebagai sarana membersihkan gigi dan mulut. Menariknya, fungsi dan fitur tersebut masih tetap sama hingga saat ini. Tentunya ini dapat dikatakan sebagai suatu hal yang sangat langka, terdapat suatu produk yang masih dapat bertahan keberadaannya ribuan tahun dengan fungsi dan fitur yang sama persis. Menandakan fungsi dan fitur tersebut memang dinilai efektif dan handal dalam mencapai tujuan penggunaannya. Siwak yang dikenal juga dengan istilah chewing stick, sejak tahun 1987 juga telah mendapat pengakuan WHO sebagai sarana pembersihan gigi. Siwak merupakan bahan alami murni yang merupakan paket lengkap, karena memang diambil dari dahan ataupun akar pohon siwak atau salvadora persica. Siwak secara mandiri memiliki kandungan berbagai bahan aktif yang notabene telah teruji dalam berbagai penelitian. Pun juga diteliti pada berbagai bidang, mulai dari biologi, kimia, fisika, sosial kesehatan, hingga klinis. Hasil yang didapatkan memiliki arah yang sangat baik dan sangat berpotensi terdapat pengembangan berkelanjutan. Pengembangan untuk kemanfaatan optimal bagi kesehatan gigi dan mulut.

Baca juga  Kemenkes Libatkan Unusa Deteksi Dini Skrining Kesehatan Jiwa

Prof Taufan mengakui, solusi permasalahan kesehatan gigi dan mulut pada fase saat ini memiliki tantangan tersendiri. Pencapaian sasaran tersebut tidak cukup bila hanya dengan pengulangan demi pengulangan teknis yang sama terkait upaya promotif dan preventif kepada masyarakat. Dibutuhkan upaya inovatif yang mengakar dan bercabang rimbun sehingga dapat menjangkau berbagai komponen kehidupan secara individu dan sosial. “Bila kampanye menyikat gigi 2 kali sehari ternyata masih belum optimal dalam menurunkan angka kejadian masalah kesehatan gigi dan mulut, maka bisa saja dibutuhkan membersihkan gigi hingga 7 kali sehari,” katanya.

Berkaca pada keberadaan siwak sebagai bahan alami murni dengan kandungan bahan aktif yang bersifat alami pula, maka siwak dapat digunakan dengan frekuensi sering bahkan hingga 7-9 kali sehari. Keunggulan siwak ini kemudian dapat berdampak pada pengendalian kondisi rongga mulut dapat lebih terjaga stabilitasnya. Menyikat gigi bahkan dapat dilakukan 7 kali sehari. Tentunya ini dapat menutup kesempatan bakteri di rongga mulut untuk aktif beroperasional, dikarenakan kondisi derajat keasaman rongga mulut yang lebih stabil dan tidak terlalu sering berada dalam zona derajat keasaman berisiko, khususnya ketika setelah makan atau mengemil.

Baca juga  Kemendukbangga Siapkan Quick Win SuperApps Layanan Keluarga

Pada dimensi dampak lingkungan, risiko pencemaran lingkungan oleh upaya promotif dan preventif kesehatan gigi, dapat lebih dikendalikan dengan optimasi penggunaan siwak. Siwak sebagai bagian dari tanaman, merupakan sarana pembersihan gigi yang secara penuh berbahan dasar alami. Maka sampah yang ada pun,merupakan sampah organik, bahkan dapat berpotensi dimanfaatkan menjadi penyubur tanah yang bermanfaat bagi tanaman lain. Pada dimensi keterbatasan akses air, sebagai kebutuhan untuk membilas sisa pasta gigi ketika menggunakan sikat gigi konvensional, pun tidak menjadi keterbatasan pada siwak. Siwak dapat digunakan secara langsung dan tidak meninggalkan sisa zat berbahaya bagi tubuh yang perlu untuk dibilas. Hal tersebut juga berlaku terkait keterbatasan akses alat atau sarana kesehatan gigi yang juga menjadi perhatian tersendiri terutama pada daerah-daerah terpencil.

“Siwak dapat hadir menjadi solusi, karena siwak merupakan tanaman yang dapat ditanam dimana saja, memiliki sustainability yang baik, sehingga dapat dimanfaatkan pada daerah-daerah dengan keterbatasan akses alat atau sarana kesehatan gigi,” jelas Prof Taufan.

Memasyarakatkan siwak, tandas Prof Taufan, memang masih memerlukan upaya lebih. Integrasi berbagai bidang akan dapat menjadi faktor akselerasi proses tersebut. Integrasi dari akademisi, kesehatan, industri, ekonomi dan juga bidang sosial humaniora. Memasyarakatkan siwak tidak hanya mengenai bagaimana penjelasan mengenai fitur dan fungsi, tetapi telah menyentuh ranah bagaimana membangun peradaban kesehatan. “Perjalanan siwak memang masih panjang, tetapi semangat tidak boleh padam. Untuk mewujudkan tagline gigi sehat dan lingkungan pun ikut senang. Mari sempurnakan dengan siwak, karena gigi sehat adalah hak umat manusia,” tegasnya. (Ra, foto-foto: Bagus)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

News Feed