Dipenjara Karena Volume Azan,  Harusnya Utamakan Dialog

Pengadilan Negeri (PN) Medan menjatuhkan vonis 18 bulan penjara kepada Meiliana sebagai buntut protes soal volume suara di masjid. Ia divonis dengan pasal penistaan agama pada Selasa (21/08)2018) lalu.

Meiliana ini menjadi tersangka kasus penistaan agama pada Maret 2017. Kemudian Meiliana dinyatakan terbukti bersalah melanggar pasal 156a KUHP tentang Penodaan Agama, oleh Pengadilan Negeri Medan.

Kasus ini menyita perhatian publik. Bahkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meminta aparat penegak hukum untuk benar-benar memahami esensi undang-undang penodaan agama, agar tidak menjadi preseden buruk di tengah kemajemukan bangsa.

PENDINGINAN SUASANA

Di sisi lain juga ada yang menyesalkan komisi fatwa MUI karena meminta agar Meiliana dihukum. Pakar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, JM Muslimin menanggapi, MUI bertindak dalam rangka untuk bagaimana melakukan pendinginan suasana. Hanya memang kadang yang dilakukan itu harus proporsional.

“Maksudnya, mengeluh azan itu soal faktual atau mengada-ada,” tuturnya kepada majalahnurani.com, Jumat (24/8/2018).

Dipaparkannya, azan itu dilakukan pada sholat lima waktu. Pada dasarnya ini tidak ada masalah. Tapi kalau berlarut-larut pengeras suaranya dinyalakan, dan bukan saat azan, ini akan menjadi masalah.

PASAL KARET

Pasal yang digunakan saat ini berpotensi menjadi pasal karet. Oleh karena itu sebaiknya ada proses definitif pada pasal tersebut sehingga tidak semuanya dilarikan pada penistaan agama.

“Ini memang dikhawatirkan banyak pihak,” tambahnya.

Kemudian hal yang terkait dengan agama yang mengandung potensi kesalahpahaman agama. Sebenarnya pada tingkat awal harus diselesaikan secara dialog.

Maka hal yang terkait dengan penistaan agama ini jangan kemudian buru buru diselesaikan di ranah hukum, andaikan dengan dialog bisa diselesaikan.

Menurut Muslimin, hukum yang baik itu bisa diselesaikan secara dialog jika berpotensi ada kesalahpahaman.

Apa yang terjadi? Sesungguhnya saat itu memang muncul ketegangan sosial antar kelompok.

“Tapi apapun ceritanya, sebenarnya peristiwa yang terjadi tentang azan, tidak hanya dirasakan oleh orang non Islam. Di beberapa tempat pun masih ada orang Islam yang mengeluh,” sambung dia.

ATURAN PENGERAS SUARA

Dari pengamatannya, katakanlah masih ada masjid Musola yang tidak memperhatikan. Khususnya pada malam atau pagi hari, yang pada shubuh pukul 04.30, tapi 02.30 sudah mulai halo-halo.

‘Seharusnya sesuai aturan. Kapan masjid itu bisa menggunakan pengeras suara. Jadi bukan karena syiar agama saja, sehingga dipahami kalau syiar agama itu tanpa aturan,” kata dosen pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Termasuk juga masih ada pengajian yang memakai loud speaker dan ada di tempat sempit pinggir jalan. Sementara jamaahnya meluber sampai ke jalan. Tentu ini susah juga.

Adanya masukan agar pasal penistaan agama dihilangkan, menurut Muslimin, sudah dikokohkan oleh mahkamah konstitusi. Jadi tidak bisa dihilangkan. Karena sudah final dan mengikat.

Sekarang, ucapnya, tinggal bagaimana penafsiran tentang pasal itu dilakukan proses kehati-hatian. Hukum yang baik itu hukum yang definitif, bukan hukum yang menimbulkan multipenafsiran.

“Sehingga orang tidak bisa menarik sana-sini sesuai dengan situasi yang berkembang dan sesuai tafsiran pribadi,” ungkap dia.

Dari proses itu, cerita Muslimin,, memang saat itu orang alergi terhadap penistaan agama seperti belajar pada kasusnya Ahok.

Tapi, lanjut dia,  soal azan tidak ada masalah. Memang rumah seseorang yang berhimpitan dengan masjid, kemudian azan menghindari nya.

“Ya susah juga. Ada kebebasan beragama, tapi juga ada kebebasan orang lain yang dirasakan mengganggu kebebasannya. Maka bisa dilakukan kompromi dialog. Jangan kemudian karena menggunakan kebebasan agama,  misal mengumpulkan orang untuk pengajian lalu malah mengganggu kebebasan orang lain yang lewat. Kan tidak bisa begitu juga,” tandas dia. 01/Bagus

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *