Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan agar Kementerian Agama mengatur penggunaan pengeras suara tempat ibadah semua agama.
DISKRIMINATIF
Wakil Ketua MUI KH Zainut Tauhid Sa’adi kepada majalahnurani.com Senin (27/8/2019) mengatakan saat ini Kemenag hanya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid saja, yakni melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag No. Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid.
“Instruksi Dirjen tersebut juga bersifat diskriminatif karena hanya mengatur rumah ibadah tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan di tengah masyarakat,” ujar dia.
Zainut menilai kasus yang melibatkan Meiliana adalah pelajaran yang mesti diperhatikan pemerintah. Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume pengeras suara azan di lingkunganya. Ia dinilai melanggar pasal penodaan agama.
Untuk itu Zainut menganggap perlu ada peraturan yang dapat menjamin terbangunnya kehidupan yang damai, rukun dan harmonis antarelemen masyarakat. Pemerintah, khususnya Kemenag, harus membuat regulasi yang dapat diterima oleh semua pihak.
Menurut Zainut regulasi yang dimaksud tidak boleh diskriminatif, dan harus mengatur dan melindungi semua umat beragama.
Bahkan, instruksi Instruksi Dirjen Bimas Kemenag No. Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid juga cenderung lemah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Alasannya, karena tidak ada perintah atau delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terkait instruksi Dirjen Bimas tersebut.
KESADARAN TOLERANSI
Zainut mengatakan Instruksi Dirjen Bimas Islam itu juga sudah tidak relevan dengan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa setiap peraturan akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat jika ada peraturan yang lebih tinggi.
“Hemat saya, Kementerian Agama harus membuat peraturan perundangan yang lebih komprehensif,” tambahnya.
Di sisi yang lain, Zainut juga berharap agar masyarakat dapat mengambil hikmah dan pelajaran berharga dari kasus yang terjadi pada Ibu Meiliana. Menurutnya, dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya.
“Sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat,” tandasnya. 01/Bagus