Wasekjen MUI: Disertasi Seks di Luar Nikah, Gelar Doktor Harus Dicabut

Abdul Aziz, mahasiswa program doktor di UIN Sunan Kalijaga membuat disertasi kontroversi bahwa hubungan seks di luar nikah tak melanggar syariat Islam.

MILKUL YAMIN

Dia mengemukakan konsep milkul yamin seorang intelektual asal Suriah, Muhammad Syahrur yang menjelaskan bahwa berhubungan badan doleh dilakukan dalam batas-batas tertentu, tanpa perlu adanya ikatan pernikahan.

Aziz menjelaskan bahwa ada dua jenis hubungan intim yang diperbolehkan di dalam Alquran. Yang pertama adalah jika adanya pernikahan, dan yang kedua yakni apabila ada milkul yamin.

Meski tidak perlu menikah untuk bisa berhubungan seks secara halal, namun Aziz mengatakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Yang pertama, sang perempuan tidak boleh memiliki suami.

“Kalau seorang laki-laki lajang atau beristri, boleh. Harus dewasa, berakal sehat dan tidak dilakukan secara zina, yakni hubungan seksual secara terbuka,” ujarnya.

Bahkan kata Aziz hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tanpa adanya ikatan pernikahan diperbolehkan, asalkan tidak ada hubungan darah antara keduanya. Konsep milkul yamin yang ia gunakan, yakni berdasarkan suka sama suka.

“Tidak ada landasan agama. Berbeda agama diperbolehkan,” tuturnya.

Menyoal kasus disertasi doktor kontroversial di UIN tersebut, Wasekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Dr Amirsyah Tambunan, memberikan respon dalam perspektif yang berbeda.

Menurutnya, pokok masalah disertasi hubungan seks di luar pernikahan tidak melanggar hukum Islam, telah membuat banyak pihak menolak kesimpulan disertasi tersebut.

“Mestinya sebagai ilmuan UIN memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan. Pertama, menjunjung tinggi nilai nilai keIslaman. Kedua komitmen kebangsaan. Sebab bila hal ini tidak dapat dilakukan secara bersamaan, akan membawa konsekuensi yang rumit dan panjang dalam kehidupan masyarakat kita,” tuturnya kepada majalahnurani.com

Bagi Amirsyah, hal ini harus menguatkan keyakinan bahwa penelitian ilmiah yang dilakukan harus memiliki ruh ketauhidan. Ketika menghasilkan temuan-temuan _(findings)_ harus lebih mengarah pada “mencari kebenaran”, bukan mencari “pembenaran”. Atas dasar dan fakta eksperimen atau pengamatan untuk mencari kebenaran itu sendiri.

Amirsyah pun teringat dengan cerita dosen Mantiq Yosoef Soiyb ketika di IAIN Medan (1987), saat ini jadi UIN.

Dalam ilmu mantiq, cerita Amirsyah, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia. Yakni ilmu, gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal).

“Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan),” sambung Amirsyah yang juga pimpinan Asosiasi Dosen Indonesia (ADI)

Makna cerita di atas, lanjut Amirsyah, adalah bahwa sebuah penelitian ilmiah baru dikatakan benar, apabila terus mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran.

“Dalam kasus penelitian doktor kontroversial di atas, ketidakhadiran Tuhan sebagai dalam penelitiannya yang berbasis pada AlQur’an, akan membuat hasil penelitian menjadi keliru _(misleading)_. Ibarat pendapat Albert Einstein yang sering dikutip orang yaitu _”science without religion is lame, religion without science is blind”_ (ilmu pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta),” terang dia.

Seharusnya kata Amirsyah, ilmu pengetahuan dan agama berjalan selaras dan seirama dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Hal itu dapat tercapai apabila asas Ke Tauhidan, meminjam kata Ismail Al Faruqi bahwa ilmu pengetahuan harus di bangun diatas Ke Tauhidan.

MENYESALKAN

Sesuai dengan Firman Allah SWT bahwa Allah menciptakan jin dan manusia semata untuk beribadah kepadaNYA. Makna mengabdi adalah bahwa kita sebagai hambaNya harus berusaha mencari jawaban secara ilmiah melalui ilmu pengetahuan, yang digunakan untuk menguatkan dan membenarkan apa yang di nyatakan dalam Al Qur’an.

Bukan justru sebaliknya. Malah ilmu pengetahuan digunakan manusia untuk ‘membuktikan’ bahwa pernyataanNya dalam AlQur’an adalah salah, atau ada “pengertian lain” yang seolah membolehkan apa yang seharusnya haram dilakukan.

“Saya ikut menyesalkan bahwa hasil penelitian keliru ini akan membawa dampak pada semakin maraknya kehidupan seks tanpa nikah, tanpa merasa bersalah, bahkan akan menuntut balik mereka yang mengusiknya sebagai apa yang dikatakan promovendus sebagai bentuk kriminalisasi. Arogansi bahkan kesombongan intelektual,” urainya.

Untuk itu, terang Amirsyah, lembaga sebesar UIN Joga harus memberikan sanksi akademik yakni mencabut gelar Dr demi mempertahakan integritas UIN Jogja. Jika tidak merevisi dan minta maaf ke pada publik.

Karena jika tidak, akan memberikan “pembenaran” semakin meluasnya penyakit kelamin, karena seks dapat diperoleh dengan siapa saja, asal ada kesepakatan satu sama lain, suka sama suka. Naudzubillah min dzalik.

“Yang saya kesalkan juga adalah mengapa disertasi seperti itu lolos dari sebuah perguruan tinggi agama Islam Negeri yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam mempertahankan marwah ajaran Islam di negara kita ini?” ungkap Amirsyah.

Amirsyah merasa para ilmuan di Indonssia lebih banyak berorientasi pada mempelajari dan meneliti agama Islam sebagai sebuah ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dilakukan para ilmuwan barat dan para orientalis umumnya. Bukan sebagai institusi perguruan tinggi yang berdiri untuk mengembangkan ilmu pengetahuan Islam tentang bagaimana berperilaku dan berkepribadian sebagai seorang muslim di NKRI yang kita cintai.

“Maka jangan heran kalau tidak dilakukan re evaluasi dan instrospeksi diri (muhasabah) segera, ke depan akan semakin banyak hasil studi “menyimpang” tentang Islam yang lahir dari PTKN / PTIS serta hal ini kemudian akan menjadi sumber pemikiran liberal, radikal bahkan mungkin dua kutub ekstrim yang justru menggugat exsistensi umat Islam. Lalu, mau dibawa kemana nasib saudara-saudara warga bangsa yang mayoritas muslim di negara kita?” keluhnya.

Karena itu, semua ini menurut Amirsyah harus dikembalikan kepada nilai nilai Tauhid yang melandasi ilmu pengetahuan itu sendiri.

“Yaitu bahwa kita adalah hambaNya, dan kita melakukan semuanya untuk memperoleh ridhoNya bukan malah menggugat dan membuatNya murka. Semoga kita semua sadar “bisa merasa”, bukan “merasa bisa” dalam mensikapi perkembangan Ilmu Pengetahuan,” tandas Pengajar Matkul Islam dan Imu Pengetahuan UIN Jakarta tersebut. Bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *