Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rumadi Ahmad menyampaikan sejumlah masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) DPR terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf memberikan tugas kepada Rumadi untuk mewakilkan dirinya dalam rapat di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/11/2025).
Rumadi menilai banyak aspek krusial dalam rancangan regulasi ini yang membutuhkan penataan ulang agar tidak menciptakan lembaga superbody baru maupun tumpang tindih kewenangan.
Rumadi mengungkapkan bahwa sejak menerima undangan rapat, dirinya tidak menemukan draf RUU BPIP yang dimaksud, hanya naskah akademik pada 2024 yang disusun Kemenkumham. Dari kajian awal itu, ia menilai penamaan RUU perlu ditinjau ulang. Menurutnya, judul RUU BPIP berpotensi menempatkan pembinaan ideologi Pancasila hanya sebagai tugas BPIP, sehingga kementerian dan lembaga lain tampak tidak memiliki tanggung jawab dalam agenda nasional tersebut. “Mungkin lebih baik kalau namanya RUU Pembinaan Ideologi Pancasila. Di dalamnya tetap mengatur BPIP, tetapi pembinaan ideologi tidak boleh dianggap hanya tugas BPIP,” ujar Rumadi.
Ia menegaskan bahwa pembinaan ideologi Pancasila adalah agenda lintas sektor yang tidak boleh dimonopoli oleh satu lembaga.
Poin kedua yang disoroti Rumadi adalah ketidakjelasan status kelembagaan BPIP dalam naskah akademik. Padahal, status kelembagaan sangat menentukan kuat-tidaknya kewenangan yang dapat diberikan oleh undang-undang. Ia menyebutkan, jika BPIP ingin diberikan kewenangan bersifat imperatif, statusnya harus diperjelas, apakah akan menjadi lembaga negara independen, LPNK, atau agensi khusus seperti KPK, Komnas HAM, atau OJK. “Kalau lembaganya tidak kuat, lalu diberi kewenangan imperatif, itu tidak sesuai kapasitasnya. Kelembagaan harus disepakati dulu, baru membahas kewenangannya,” terang Rumadi.
Ia juga menyoroti keinginan BPIP untuk memiliki kantor perwakilan di daerah. Namun naskah akademik belum mendefinisikan BPIP ingin diarahkan menjadi model lembaga seperti apa.
Masukan ketiga dari PBNU adalah absennya analisis risiko dalam naskah akademik, terutama terkait tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain. Rumadi mencontohkan fungsi kaderisasi calon pemimpin bangsa yang disebut dalam naskah akademik. Fungsi tersebut, menurutnya, memiliki irisan kuat dengan peran Lemhannas dan lembaga lain. “Kalau tidak dianalisis sejak awal, tumpang tindih seperti ini nanti akan menimbulkan persoalan ke depan,” tegasnya. Ia juga menyoroti gagasan uji sahih Pancasila terhadap kebijakan dan regulasi. Ide itu baik, tetapi mekanismenya harus realistis dan disesuaikan dengan status BPIP sebagai lembaga non-yudisial.
Rumadi menegaskan bahwa BPIP bukan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, ia tidak mungkin diberi kewenangan membatalkan regulasi atau menghentikan kebijakan yang dianggap tidak sesuai Pancasila. Skema yang lebih tepat, menurutnya, adalah rekomendasi wajib dalam proses harmonisasi regulasi. “BPIP bisa memberi rekomendasi wajib agar regulasi yang lahir selaras dengan ideologi Pancasila. Tapi tidak bisa seperti MK yang memutus sah atau tidaknya sebuah regulasi,” tuturnya. Rumadi menegaskan bahwa PBNU tidak mempermasalahkan ideologi Pancasila karena sejak lama telah menjadi bagian dari kultur kaderisasi NU.
“Bagi kami, persoalan Pancasila sudah selesai. Itu makanan kami sehari-hari,” pungkasnya Ia berharap DPR dapat mempertimbangkan secara serius saran-saran teknis tersebut, agar RUU yang dihasilkan benar-benar menguatkan ekosistem pembinaan ideologi Pancasila tanpa menambah persoalan kelembagaan baru. (Ym)






