Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menggelar konferensi pers terkait hasil menyita kosmetik ilegal senilai Rp 2,5 miliar, dari sebuah ruko di Jalan Jelambar Utama Raya Nomor 17Z, Jakarta Barat, pada Kamis (15/2/2018).
Dari hasil sitaan itu, BPOM menjelaskan jika produk tersebut diracik, diproduksi dan dikemas oleh oemilik rukonya. Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito saat memberi keterangan pers menyebut, fasilitas dan sarana yang digunakan ilegal.
“Tentu produknya juga ilegal,” ujarnya kepada media.
Bahan Berbahaya
Ditanya soal kepalsuan produk, menurut Penny tidak ada indikasi palsu. Hanya saja pabrik tersebut ilegal. Sebab dalam memproduksi produk harus memenuhi standar tertentu.
“Higienisnya, teknologinya, bahannya, alat produksi dan keamanan serta mutu dari produk yang dihasilkan,” terangnya.
BAHAN BERBAHAYA
Bahayanya lagi, dari hasil menyita, produk kosmetik ini mengunakan bahan berbahaya seperti mercuri, hidrokuinonm dan pewarna. Akibat memproduksi secara ilegal, maka pemilik pabrik terancam Undang-undang Kesehatan pasal 196 tentang standar produksi obat dan makanan, serta pasal 197 tentang izin edar.
“Pasal 196 bahwa siapa pun yang memproduksi obat dan makanan yang tidak memenuhi standar keamanan mutu dan manfaatnya, bisa dikenakan sanksi pidana penjara maksimum 15 tahun penjara atau denda maksimal Rp 1,5 miliar,” tegas Penny.
Dari hasil sitaan tersebut BPOM juga dibantu dengan polri. Total produk impor ilegal yang sudah disita ini senilai Rp 146,88 Miliar selama periode 2016-2017 yang berupa bahan baku obat, bahan pangan dan kosmetika. Untuk rinciannya, produk ilegal yang berupa obat Rp 6,38 Miliar. Suplemen makanan Rp 53 Miliar, bahan pangan Rp 9,5 Miliar.
Penny memaparkan, produk ilegal yang lainnya ini dari Singapura, Malaysia, Thailand, India, dan Tiongkok yang masuk melalui pelabuhan di Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, maupun jalur darat di perbatasan Kalimantan Barat.
Dari penelusurannya, produk ilegal tersebut masuk ke Indonesia melalui perorangan lantaran perilaku pasar masyarakat. Selain ketergantungan dan kebiasaan masyarakat terhadap produk tanpa izin edar serta disparitas harga, aturan Pemda atau lintas negara dinilai tidak relevan lagi.
“Ini perlu diperkuat lagi kerja sama lintas sektoral di perbatasan. BPOM selama ini telah menjalin komunikasi dengan Polri, Ditjen Bea dan Cukai, dan Kementerian Dalam Negeri. Selain itu untuk meningkatkan kualitas layanan publik, BPOM telah melakukan debirokritiasasi dengan mewujudkan sistem pelayanan prima yang mencakup penambahan jadwal layanan, bimbingan teknik dan coaching clinic,” katanya.
DNA BABI
Untuk peningkatan kualitas pelayanan publik, menurut Penny penggunaan teknologi informasi (e-registrasi dan QR-Code) terus dilakukan tidak hanya untuk percepatan registrasi dan perijinan. Akan tetapi, juga peningkatan efektivtas pengawasan dan transparansi.
“Efektivitas, percepatan dan transparansi ini BPOM telah melakukan revisi dan penyusunan regulasi baru, perbaikan manajemen, dan infrastruktur pendukung. Semuanya ini bertujuan menciptakan transparansi proses dan percepatan registrasi dan akses masyarakat pada produk bermutu dan aman,” tandas dia.
Penny menambahkan, BPOM telah memberikan sanksi berupa penarikan barang yang beredar dari suplemen yang terindikasi mengandung DNA babi, serta penarikan izin edar produk tersebut. “Ditindak lanjuti memberi sanksi. Baru akan dipublikasikan setelah didapatkan data pendukung yg lengkap untuk dapat diinfokan pada publik untuk perlindungan dan edukasi. Produk ditarik dari pasaran,” ungkap dia. 01/Bagus