Sepanjang tahun 2018 hingga 2019 akan digelar 171 Pilkada serentak. Sebanyak 12 Pilkada tingkat provinsi (Pilgub). Ada 78 Pilkada tingkat kabupaten (Pilbup). Serta 29 kota akan mengelar pemilihan wali kota di tahun 2018. Memasuki tahun 2019, ada 5 Pilkada Provinsi, 37 Pilkada Kabupaten, dan 39 pemilihan wali kota.
Tahapan Pilkada tahun ini sudah memasuki masa kampanye. Kampanye negatif berbau Suku, Agama, Ras, Antar Golongan (SARA) menjadi momok menakutkan. Panasnya isu SARA di Pilkada DKI Jakarta tahun lalu menjadi dasar kecemasan tersebut. “Kalau ditanya apakah politik SARA akan digunakan lagi di 2018? Kemungkinan itu selalu ada dan sangat mungkin,” ujar Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Menurut Titi dalam kompetisi yang sengit, di mana pertarungan sangat ketat, akan selalu ada oknum yang menggunakan cara-cara ilegal dan dianggap efektif untuk memenangkan Pilkada. Bawaslu harus melakukan langkah-langkah antisipasi yang maksimal. “Tidak bisa sendirian, tetapi harus melibatkan semua pihak terkait,” ungkap perempuan kelahiran Palembang tersebut.
MENODAI DEMOKRASI
Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, pun berpandangan serupa. “Politik uang dan SARA adalah bentuk kejahatan yang terbukti bukan hanya menodai demokrasi, melainkan juga mengancam Pancasila dan NKRI,” kata Said Aqil.
Menurut Said Aqil mempolitisir agama dan mengagamakan politik adalah kesalahan besar. Sikap tersebut dilarang oleh agama. Ia menghimbau umat Islam menahan diri dari aksi-aksi yang bisa memicu perpecahan umat.
Lanjut Said Aqil, jika calon pemimpin yang ada dirasa kurang pantas untuk dipilih, cukup jangan dipilih. Itu jauh lebih baik, dibanding ketidaksukaannya diwujudkan melalui cara menyulut permusuhan lewat isu SARA.
HARUS LEBIH DEWASA
Pandangan serupa juga ditegaskan Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Haedar Nashir. “Pesan Muhammadiyah menghadapi ujaran kebencian, intoleransi, dan masalah SARA. Pertama, umat dan bangsa harus mengedepankan kebersamaan dan keadaban sebagai bagian dari misi Islam rahmatan lil-‘alamin,” tegas Haedar.
Menghadapi tahun politik, Haedar mengimbau, umat Islam serta masyarakat pada umumnya tidak mudah terprovokasi isu SARA. Kalau isu SARA terus terjadi kita sendiri yang akan rugi. “Agar tidak saling merugikan satu sama lain dan sebaliknya dapat membangun kehidupan bersama secara ukhuwah, damai, dan penuh keadaban,” jelasnya.
Menurut Haedar, isu SARA dan masalah toleransi, intoleransi, radikalisme, kebinekaan, dan masalah nasional lainnya pada umumnya saling kait dan tidak parsial dari sistem kehidupan keumatan dan kebangsaan yang kompleks. “Karenanya jangan disederhakan dan disimplifikasi secara sepihak dan parsial agar tidak merugikan kehidupan bersama,” ucap Haedar.
Haedar mengharap, segenap elite dan warga umat maupun bangsa lebih seksama dan dewasa menghadapi isu dan keadaan di masyarakat. Bila semua itu bisa dijalankan, Haedar yakin menghadapi tahun politik 2018 dan 2019, kebersamaan akan terbangun menuju Indonesia bersatu berkemajuan. (01/fathor)