LPAI Lindungi Anak Terduga Teroris

Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang sebelumnya dikenal dengan nama populer Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) sejak 2016 tidak digunakan. Penggunaan nama LPAI–sebagai nama resmi Komnas PA–merupakan paket langkah kembali ke khittah 1998, di samping pemberhentian ketua umumnya yang lama.

Kini yang menjabat sebagai Ketua Umum LPAI adalah Seto Mulyadi (Kak Seto), didampingi Henny A. Hermanoe selaku Sekretaris Jenderal.

PERLINDUGAN KHUSUS

Kepada majalahnurani.com, Rabu (23/5/2018) sore, Kak Seto menandaskan bahwa terorisme harus diperangi. Menurut dia kejahatan serius itu harus ditangani dengan pendekatan hukum yang juga serius.

“Apalagi manakala aksi teror menyasar anak-anak hingga menderita cedera dan kehilangan nyawa, hukum harus tegas tanpa kompromi,” ungkap dia.

LPAI, lanjutnya, mengapresiasi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang berjanji akan memberikan perlindungan khusus itu kepada anak berinisial ASA.

Dipaparkan Seto, ASA sesungguhnya bukan satu-satunya anak yang membutuhkan perlindungan khusus itu. Ada sekian banyak anak lagi yang ayah mereka tewas dengan sebutan sebagai terduga teroris.

Walau status “terduga” sesungguhnya bermakna bahwa yang bersangkutan “belum terbukti bersalah”, namun anak-anak dan isteri para terduga teroris itu kerap juga menerima sanksi sosial yang berat.

“Para yatim dan janda itu diusir dari tempat tinggal mereka dan dialienasi sedemikian rupa sehingga kesulitan mempertahankan hidup.,” cerita Seto.

SASARAN STIGMA

Selain itu, anak-anak terduga teroris, bahkan sesungguhnya seluruh masyarakat, membutuhkan kepastian apakah orang tua mereka benar-benar teroris ataukah selama-lamanya berstatus sebagai orang yang diduga teroris.

Diungkapkannya, padahal pasal 59 UU Perlindungan Anak menegaskan bahwa anak-anak tidak boleh menjadi sasaran stigma, termasuk stigma akibat perbuatan orang tua mereka.

Anak-anak terduga teroris merupakan subjek yang relevan dengan isi pasal tersebut. Selalim apa pun orang tua (terpidana teroris), anak-anak yang mereka lahirkan tidak sepantasnya menerima getah akibat teror yang diduga mereka perbuat.

“Hak-hak atau kepentingan-kepentingan terbaik anak-anak para terduga teroris sepatutnya tetap terpenuhi,” terang dia.

Bahkan, pengusiran dan pengasingan terhadap anak-anak terduga teroris merupakan pelanggaran serius terhadap UU Perlindungan Anak.

Terlebih ketika negara bersikukuh bahwa “anak-anak terduga teroris” bisa disamakan begitu saja dengan “anak-anak teroris”, betapa pun tidak ada proses hukum yang pernah diselenggarakan untuk menetapkan status tersebut.

“Negara semakin dituntut konsekuen untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak-anak korban jaringan terorisme,” sambung Seto.

Pengabaian oleh negara serta persekusi (tepatnya, vigilantisme) oleh masyarakat terhadap anak-anak dari para terpidana dan terduga teroris, dikhawatirkan justru akan menciptakan prakondisi bagi anak-anak malang tersebut untuk kelak benar-benar menduplikasi perilaku kekerasan sebagai cara mencapai tujuan.

Oleh sebab itu, tegas Seto, untuk menangkal regenerasi teror itu, negara harus terpanggil. Negara harus hadir. Sebagai kementerian yang telah berencana menyantuni anak-korban ASA di Surabaya.

“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak kembali LPAI dorong untuk juga dapat mengoordinasi pendataan, pemantauan, dan pemberian perlindungan khusus kepada anak-anak teroris dan terduga teroris yang telah meninggal dunia,” jelasnya. 01/Bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *