Sejak kemarin, Kementerian Agama (Kemenag) bersama anggota Komisi I DPR RI, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Luar Negeri menggelar rapat dengar pendapat mengenai aturan rekam biometrik bagi jamaah haji dan umroh yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi.
MENAMBAH BIAYA JAMAAH
Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus Kemenag, Arfi Hatim dalam siaran rilisnya Selasa (22/1/2019) mengatakan, rekam biometrik tersebut muncul sebagai salah satu syarat penerbitan visa.
Pemerintah dan DPR sepakat untuk mengajukan pengambilan rekam biometrik tidak ditetapkan tahun ini.
Dia beralasan kantor operator Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel, perusahaan jasa kelengkapan dokumen termasuk data biometrik hanya ada di 30 kota besar di Indonesia.
“Pengambilan biometrik ini ada penambahan cost (biaya). Mendaftar secara online, kemudian mengambil jadwal pengambilan biometrik. Misalnya jemaah dari Papua harus datang ke Ambon, ke Makassar untuk mengambil biometrik,” terangnya.
Sementara direktur Lalu Lintas Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM, Cucu Koswala menegaskan, tidak sepakat dengan aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah Arab Saudi. Mengingat perusahaan yang mengambil data biometrik bukanlah dari Indonesia.
“Kalau kita baca, bahwa data terkait WNI harus dilindungi oleh pemerintah. Bagaimana mungkin swasta dari luar negeri, kemudian mengambil data warga negara Indonesia kemudian dikirimkan ke negaranya (Arab Saudi),” ucap Cucu.
Cucu menyebut, data WNI tersebut rentan disalahgunakan. Dia meminta proses rekam biometrik ini ditunda hingga seluruh infrastruktur penunjangnya memadai.
“Sepakat dengan teman-teman yang lain, ini ditunda, sampai kondusif,” katanya.
PENURUNAN JUMLAH
Ketua Harian Permusyawarakatan Antar Syarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) Artha Hanif mejelaskan, akibat dari kebijakan itu jumlah jamaah yang berkunjung ke tanah suci susut.
“Kebijakan wajib biomterik membuat jumlah jamaah umrah Indonesia turun sekitar 20%-25%.
Penurunan jamaah ini disebabkan proses perekaman biometrik yang memberatkan calon jamaah, terutama yang tinggal di daerah.
“Kebanyakan calon jamaah di daerah dan pulau terpencil menunda keberangkatan, karena mereka mesti mengumpulkan tambahan biaya lagi,” terang Artha.
Biaya tersebut untuk transportasi menuju lokasi perekaman biometrik. Selain biaya, kebijakan rekam biometrik sebagai syarat visa juga menambah waktu pengurusan.
Artha mengklaim saat ini tidak mudah bagi calon jamaah untuk mendapatkan jadwal rekam biometrik. Hal itu mengganggu jadwal keberangkatan calon jamaah yang sebelumnya telah disusun oleh pihak biro perjalanan.
Perusahaan travel umrah pun berharap ada perbaikan layanan pengurusan visa Arab Saudi, seperti proses yang terintegrasi lewat imigrasi di Indonesia.
Pemerintah Indonesia sejatinya sudah menyampaikan keluhan pengusaha travel maupun jamaah umrah atas pemberlakuan kebijakan wajib biometrik ini ke pemerintah Arab Saudi.
Pemerintah Indonesia berharap penerapan aturan ini bisa ditunda sementara waktu sampai jumlah layanan biomerik memadai dengan permohonan visa. 01/Bagus