MUI Dorong Pemerintah Revisi UU Perkawinan

Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Lenny N Rosalin menegaskan jika pemerintah akan mengusulkan usia perkawinan minimal 19 tahun untuk merevisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

“Saat ini pemerintah sudah menyelesaikan naskah akademik, naskah rancangan undang-undangnya dan melakukan harmonisasi,” tutur dia kemarin.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise sudah mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo untuk meminta agar menerbitkan surat presiden sehingga revisi Undang-Undang Perkawinan bisa segera dibahas bersama DPR.

TIDAK DIBEDAKAN

Pembahasan tentang revisi Undang-Undang Perkawinan oleh pemerintah hanya berfokus pada pasal 7 ayat (1) yang menyebutkan perkawinan hanya diizinkan bila pria sudah berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun.

Baca juga  Aksi Militer Iran Merupakan Respons Terhadap Agresi Rezim Jahat Zionis

Lenny mengatakan, azas revisi Undang-Undang Perkawinan adalah kesetaraan. Tidak boleh ada diskriminasi. Persamaan substantif dan nondiskriminasi.

“Jadi, tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Usia 19 tahun akhirnya dipilih karena sudah melebihi usia anak yang menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditetapkan hingga 18 tahun,” tambahnya.

USIA IDEAL

Dikonfirmasi majalahnurani.com, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hasanuddin AF berpendapat usia minimal yang ideal bagi untuk laki-laki dan perempaun menikah, yakni 21 tahun. Menurutnya, usia menikah ini memang seharusnya disamakan.

“Secara pribadi, menurut saya minimal 21 tahun, (untuk) laki-laki dan perempuan. Disamakan saja, mengapa tidak. Karena yang terpenting adalah kedewasaan dari keduanya. 21 tahun saya kira sudah minimal,” ujarnya.

Baca juga  PBNU: Serangan Iran ke Israel Bentuk Kemarahan Dunia

Hasanuddin juga mendorong agar UU 1/1974 tentang Perkawinan direvisi terutama pada poin yang membahas usia anak yakni pasal 7. Persoalan perkawinan anak ini perlu mendapat perhatian agar kemudian dilakukan perbaikan secara menyeluruh.

Menurut Hasanuddin Perbaikan secara menyeluruh ini harus memuat upaya pencegahan perkawinan anak.

“Namun kerap kali perkawinan anak mendapat dispensasi dari pengadilan sehingga banyak terjadi perkawinan anak,” sambung Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Persoalan dispensasi perkawinan anak ini harus juga dibahas dalam proses merevisi UU Perkawinan Anak. Dispensasi ini harus dipertimbangkan juga, apakah harus dihapus dispensasinya, atau alasan (pengajuan dispensasinya) harus diperberat.

“Misalnya kalau darurat, kalau si anak jadi pengen bunuh diri karena menanggung malu. Tapi darurat ini harus juga diuji terlebih dulu sedemikian rupa,” tandas dia. Bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published.

News Feed