Sebagai bentuk penghormatan, umat muslim boleh menerima parcel Natal. Tetapi, dalam konteks menggunakan, memanfaatkan, atribut, pernak-pernik Natal itu dilarang.
Anggota Komisi Fatwa MUI, Ustad Aminudin Yakub menjelaskan bahwa menerima hadiah atau parcel itu hukumnya mubah. Dari siapapun pemberi hadiah itu selama tidak dimaksudkan untuk risuah (suap). Maka umat muslim dibolehkan untuk menerimanya.
“Rasulullah sendiri pernah mendapatkan hadiah keju dari pemberian seorang Yahudi. Dan Rasulullah juga memakannya,” cerita Aminudin Yakub dikonfirmasi majalahnurani.com, Senin (4/12/2017).
Aminudin menandaskan, hukum asal menerima hadiah ataupun parcel memang mubah. Yang dikatakan mubah, menerima hadiah tersebut tanpa ada motif untuk menyuap. Jadi, dari siapapun pemberian itu, maka bisa kita terima.
“Termasuk parcel dari umat Kristen,” sambungnya.
Lihat Isinya
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika parcel tersebut berisi pernak-pernik atau atribut Natal? Diterangkan Aminudin yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah, kalaupun pemberian hadiah atau parcel itu berisi pernak-pernik atau atribut natal maka sebagai penghormatan kita kepada yang memberinya, boleh menerimanya.
Harus dilihat isinya. Jika pernak pernik Natal itu jelas-jelas berkaitan dengan nilai badah dan ritual agama lain, seperti salib, pohon natal, topi sinterklas, maka jangan sampai digunakan, dipajang, atau dimanfaatkan untuk yang lain.
“Sebagai penghormatan kita terima saja. Tetapi jika sampai menggunakan pernak-pernik itu dalam kaitaannya masalah ritual keagamaan umat nasrani, maka hukumnya menjadi haram,” urai dia.
Menurut Aminudin, umat Islam memang harus membedakan antara hukum menerima dan menggunakan isi dari parcel Natal tersebut. Misalnya, keluarga kita, atau kerabat, teman, tetangga, yang merayakan Natal, memberi kita hadiah, maka kita terima saja.
Tapi jika sampai menggunakan atributnya, maka sudah bertentangan dengan akidah dan ritual agama. Demikian pula meski hanya dengan menggunakan pemberian itu untuk sekadar mainan saja, itu juga tidak diperbolehkan.
“Tapi lagi-lagi kalau hanya menerima hadiah parcel, maka boleh-boleh saja,” katanya
Jika pemberi parcel itu adalah saudara kita sendiri, lantas dia menanyakan mengapa tidak menggunakan pernak perniknya, tidak memajang hadiah dan lain sebagainya, umat muslim wajib menjelaskan tanpa harus menyakiti hati sang pemberi parcel.
“Umat muslim bisa menjelaskan bahwa apa yang diberikannya itu berkaitan dengan masalah keyakinan dan kepatuhan menjalankan syariat Islam. Yang mana ketika isi parcel tersebut bertentangan dengan keyakinan umat Islam, kita tidak boleh bertasabuh pada agama lain, apalagi yang berkaitan dengan masalah ritual. Dan saya kira mereka sebagai pemberi hadiah yang merayakan Natal bisa memahami hal itu,” saran Aminudin.
Dalam konteks menghormati, lanjut Aminudin, menerima hadiah dibolehkan. Dalam konteks menggunakan, memanfaatkan, atribut, pernak-pernik agama lain itu dilarang. “Maka harus kita tempatkan secara proporsional antara hubungan kemanusian dengan akidah dan syariat agama,” pungkas dia. 01/Bagus