Pada perayaan Imlek tahun 2018 ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjunjung tinggi toleransi umat beragama. Termasuk menghormati dan menghargai adanya perayaan Imlek. Namun demikian, umat Islam jangan sampai turut merayakan ritual imlek. Termasuk merayakan Imlek di masjid.
TIDAK BOLEH
Wakil Sekjen MUI Dr Amirsyah Tambunan mengatakan, dalam kausul kebhinekaan di Keputusan Musyawarah Besar Pemuka Agama di Jakarta 8 sampai 10 Februari 2018 lalu menyatakan bahwa pemuka agama harus menghargai tempat ibadah.
“Karena inilah maka tidak boleh mencampuradukkan tempat ibadah antara satu agama dengan agama lain, termasuk mengadakan ritualnya, yang mana ritual tersebut bukan pada tempatnya. Seperti halnya merayakan ritual imlek di dalam masjid,” ungkap dia kepada majalahnurani.com, Selasa (13/2/2018).
Amirsyah melanjutkan, pada perayaan Imlek, pemuka agama perlu memandang bahwa penyiaran agama hendaknya tetap dalam semangat menghormati dan menghargai agama lain, serta menghindari berbagai cara yang dapat menimbulkan prasangka saling merebut umat agama lain, dan tidak menggunakan simbol-simbol khas agama lain dalam penyiaran agama.
“Ini perlu dilakukan agar penyiaran agama tidak mengganggu kerukunan dan keharmonisan antarumat beragama,” sambungnya.
Ketua Badan Pembina Yayasan Haji Karim Oei Masjid Lautze Jakarta HM Ali Karim Oei, menyarankan agar umat Islam tak perlu merayakan ritual Imlek. Sebab, jika ikut dalam ritual tersebut maka akidah Islam juga melenceng.
“Untuk itu tidak perlu dirayakan. Haram mengikuti ritual imlek,” ungkap dia kepada majalahnurani.com
Dijelaskan Ali, imlek merupakan budaya tradisonal. Diharapkan perayaan imlek tidak dilakukan di masjid. Namun menurut dia, adanya perayaan imlek kini sudah menjadi agama. karena inilah maka perayaan ritual imlek dilarang.
“Saya rasa budaya itu semuanya bagus. Imlek juga demikian. Entah itu budaya dari Jawa, Cina atau dari manapun saya kira itu bagus. Tapi yang terjadi kan kalau budaya jadi agama dengan mengikuti ritualnya. Ini yang salah,” jelasnya.
Lebih lanjut Ali memaparkan, di Cina, sebenarnya agamanya itu kalau dibilang Budha bukan Budha, kalau Konghucu juga bukan agama. Hanya di Indonesia saja Konghucu bisa jadi agama. Di Negara lain saja tidak ada.
“Imlek ini kan budaya dimana seseorang harus menghormati orang tuanya. Nah, makna inilah yang menjadikan orang tersebut akhirnya bersembahyang dan akhirnya menjadikannya seperti agama. Memberi makan, memberi buah kepada orang yang sudah meninggal, seperti halnya memberikan itu semua saat orang tuanya masih hidup. Saya rasa mereka itu kurang wawasan saja hingga akhirnya budaya dijadikan seperti agama. Yang sampai saat ini meyakni Imlek seperti agama hanya mereka yang kental dengan adatnya. Jika yang sudah memiliki agama lain, tentu akan lebih keras menolaknya.,” terang dia.
MENERIMA ANGPAO
Bagaimana jika menerima angpao? Menurut Ali tidak apa-apa. Menerima angpao dari yang merayakan tidak jadi masalah. Ritual agamanya saja yang tidak dibolehkan. Seperti memakai masjid untuk ritual perayaan imlek, kemudian umat Islam ikut merayakan di klenteng ketika diundang.
“Jadi umat Islam tidak boleh ikut merayakannya di tempat beribadah. Tapi itu semua tergantung niatnya. Meski kita tidak datang di tempat ibadah yang menggelar perayaan Imlek, tapi kalau kita memasang hio, sama saja itu tidak boleh. Kalau hanya melihat dari luar perayaan itu, seperti kita melihat Borobudur. Itu kan enggak ada masalah. Tapi kalau kita sampai ikut sembahyang, ikut ritual, meskipun itu hanya menyalakan hio, itu yang jadi masalah. Jadi kalau melihat sesuatu itu tergantung niatnya,” tandas dia. 01/Bagus