Awal Ramadhan Beda atau Sama? 

Ketua PBNU KH Masdar Mashudi menyampaikan agar semua pihak mengormati metode yang digunakan untuk menentukan awal Ramadhan. Seperti menggunakan metode hisab ataupun rukyah. Namun demikian, pengikut ormas, juga harus menghargai keputusan penentuan awal Ramadhan.

“Silahkan masing-masing pihak/ormas melakukan kalkulasi (ijtihad) baik dengan metode hisab maupun rukyah, kapan puasa dimulai/diakhiri,” tuturnya dikonfirmasi majalahnurani.com, Selasa (13/3/2018) malam.

SIDANG ISTBAT

Sementara PBNU sendiri untuk menentukannya tetap dibawah kordinasi dengan Pemerintah melalui sidang istbat.

“Yang jelas kita umat Islam Indonesia punya mekanisme untuk menentukan hal tersebut dibawah kordinasi Pemerintah,” jelasnya.

Menurut Masdar, Kemenag sebagai Ulil Amri melalui sidang itsbat dengan melibatkan berbagai pihak untuk menetapkan Ramadhan. Dan metode terbaik, yakni hisab yang didukung oleh rukyah.

“Itulah jalan atau cara terbaik bagi kita umat Islam Indonesia, apa pun madzhab atau ormasnya,” tandasnya.

Kemarin Pimpinan Pusat Muhammadiyah sudah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadan 1439 Hijriyah atau 2018 pada Kamis, 17 Mei. Metode yang digunakan untuk menetapkan yakni hisab. Yakni merujuk hasil perhitungan astronomi atau hisab yang dipedomani Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

METODE HISAB

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan penetapan soal 1 Ramadan itu bisa menjadi panduan bagi warga Muhammadiyah. Panduan itu penting bagi warga Muhammadiyah untuk menyambut bulan suci Ramadan 1439 Hijriyah dan hari besar keagamaan lain.

Berdasarkan maklumat tersebut, 1 Syawal atau Idul Fitri 2018 jatuh pada Jumat, 15 Juni. Kemudian 1 Zulhijah tahun ini bertepatan dengan Senin, 13 Agustus. Dengan begitu, Hari Arafah atau 9 Zulhijah bersamaan dengan Selasa, 21 Agustus.

Hari Arafah itulah yang menjadi acuan umat Muslim untuk melaksanakan puasa sunah Arafah sebelum Idul Adha. Selanjutnya, Idul Adha 10 Zulhijah jatuh pada Rabu, 22 Agustus.

Muhammadiyah dikenal mengeluarkan penetapan awal puasa, hari Idul Fitri dan Idul Adha mendahului keputusan pemerintah. Alasannya, Muhammadiyah memiliki metode tersendiri dalam menetapkan hari besar keagamaan, yaitu dengan perhitungan pasti ilmu astronomi atau falak.

Inilah yang berpeluang ada perbedaan dalam menetapkan awal Ramadhan. Di Pemerintah menetapkan hari besar keagamaan Islam setelah melakukan sidang isbat atau penetapan yang diikuti sejumlah ormas dan perwakilan instansi, termasuk Muhammadiyah.

Sidang isbat mempertimbangkan hasil perhitungan hisab dan juga menggunakan metode melihat bulan (rukyat). Keduanya dipadupadankan untuk menjadi landasan penetapan hari besar keagamaan Islam.

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyerukan agar masyarakat umum saling menghargai metode penetapan hari besar keagamaan.

 

“Pemerintah maupun Muhammadiyah, memiliki dasar argumen yang kuat untuk penetapan hari keagamaan, seperti untuk menetapkan awal puasa dan Lebaran,” katanya.

MENJAGA SILATURAHIM

Ketua MUI KH Muhyidin Junaidi mengimbau kebijakan yang telah ditentukan para pemimpin juga sudah pada pedoman. Hanya saja berbeda cara. Pada intinya kita tetap melaksanan kewajiban berpuasa di bulan Damadhan.

“Dengan tetap menjalani dan mentaati penetapan tersebut berarti kita sudah menghargai dan menghormatinya,” ujarnya.

Menurut dia, perbedaan awal Ramadhan yang pernah terjadi itu tidak masalah. Perbedaan itu juga tidak ada yang salah.

“Jadi meski berbeda jangan sampai membenci satu sama lain. Semua memiliki dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Malahan, perbedaan harusnya dijadikan rahmat. Dengan tetap membangun silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah.

“Dua metode yang digunakan pun juga benar. Jadi mari kita hargai dan tetap membangun silaturahim,” sarannya. 01/Bagus

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *