Mahar politik menjadi pembahasan pada Ijtima Ulama ke-6 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pembahasan tersebut sebagai sebuah respons MUI atas situasi aktual yang terjadi di tengah masyarakat, termasuk dunia politik.
TERMASUK SUAP
Wakil Sekertaris Komisi Fatwa Ustad Sholahudin Al Ayubi menyatakan, suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya, hukumnya haram.
“Karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah,” ungkap dia kepada majalahnurani.com
Ustad Ayub mengatakan, termasuk meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, maka hukumnya juga haram.
Lebih dari itu, memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislative, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan public lain, juga hukumnya haram.
Sekertaris MUI Ustad Asrorun Niam menambahkan, MUI tidak menginginkan niat menciptakan pemerintahan yang baik dicederai oleh proses yang bersifat koruptif.
“Peserta ijtima, memiliki keprihatinan dalam proses politik yang terjadi di Indonesia,” katanya.
KEADABAN
Asrorun menilai seharusnya dalam prosesnya harus mengedepankan keadaban dalam berkontestasi yang didasarkan kompetensi, integritas, dan keberterimaan di tengah-tengah masyarakat.
“Sayangnya yang terjadi saat ini justru proses politik yang transaksional,” sambung dia.
Atas dasar itulah ijtima ulama memberikan kontribusi keagamaan dalam mewujudkan sistem politik yang menjamin perwujudan sistem pemerintahan yang bersih, beriwibawa, dan baik.
Hasil ijtima ini merekomendasikan agar pemerintah mengupayakan pemerintahan yang efisien, berintegritas, dan berkualitas. Itu juga sebagai upaya menghentikan biaya politik yang tinggi.
Sebab, dengan biaya politik yang tinggi tersebut dampaknya akan hanya dikuasai oleh pemodal. Kemudian, ijtima ulama juga meminta agar penegakan hukum terhadap suap dan politik uang ditindak tegas. Lalu, masyarakat juga diajak berpartisipasi memberantas praktik tersebut.
“Kami menyepakati istilah ‘mahar politik’ tidak digunakan dan diganti dengan ‘permintaan dan imbalan untuk pencalonan jabatan publik’. Pasalnya, istilah ‘mahar’ dinilai melekat kepada proses pernikahan yang sakral,” tandas dia. 01/Bagus