Naikkan BPJS, Jokowi Melawan Putusan MA

Keputusan tak populer sudah diambil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan. Padahal sebelumnya Mahkamah Agung (MA) memutuskan untuk membatalkan kenaikan iuran tersebut. Lantas mengapa Jokowi masih ngotot?

Meski dengan nominal iuran yang berbeda, keputusan presiden menaikan kembali iuran BPJS Kesehatan menuai banjir kritik. Awalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan karena dibatalkan MA pada Februari 2020. Namun, Presiden Jokowi memilih tetap menaikkan iuran. Hal itu seiring dengan lahirnya Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Besarannya, untuk Kelas I yaitu sebesar Rp 150 ribu, sebelumnya Rp 160 ribu. Kemudinan Iuran Kelas II yaitu sebesar Rp 100 ribu, sebelumnya Rp 110 ribu. Dan Iuran Kelas III Tahun 2020 sebesar Rp 25.500, Tahun 2021 dan tahun berikutnya menjadi Rp 35 ribu. Sebelumnya Rp 42 ribu.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” ujar Jokowi, 6 Mei 2020.
Lalu, mengapa Jokowi tetap ngotot menaikkan iuran BPJS Kesehatan? Dalam pertimbangan Perpres 64/2020 tersebut disebutkan untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program Jaminan Kesehatan, kebijakan pendanaan Jaminan Kesehatan, termasuk kebijakan iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan negara secara proporsional dan berkeadilan serta dengan memperhatikan pertimbangan dan amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 7 P/HUM/2020.

MELAWAN PUTUSAN MA
Kepres itu disebut pengamat dianggap melawan putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya membatalkan peraturan presiden yang mengatur soal rencana kenaikan iuran BPJS. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Feri Amsari menilai tindakan itu dapat disebut sebagai pengabaian terhadap hukum atau disobedience of law.

“Tidak boleh lagi ada peraturan yang bertentangan dengan putusan MA. Sebab, itu sama saja dengan menentang putusan peradilan,” kata Feri.
Menurut Feri, putusan MA bersifat final dan mengikat terhadap semua orang, termasuk kepada presiden. Feri mengatakan bahwa putusan MA bernomor 7/P/HUM/2020 itu pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS kesehatan. Oleh karenanya, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang baru nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, langkah Presiden menaikkan iuran BPJS tetap tidak dapat dibenarkan.

Baca juga  Jasa Raharja Siapkan Pembayaran Klaim Korban Kecelakaan Tol Purbaleunyi

“Seberapa pun jumlah (kenaikan iuran)-nya, maka tidak benar kenaikan (iuran) BPJS,” ujar Feri.
Justru, Feri menilai, Jokowi sengaja membuat nominal kenaikan sedikit berbeda dari perpres sebelumnya sebagai dalih agar perpres ini tidak dinilai bertentangan dengan putusan MA.
Sementara itu BPJS Watch menilai, aturan terbaru terkait kenaikan iuran ini masih memberatkan masyarakat. Sebab, iuran peserta mandiri kelas I dan II dianggap tidak jauh berbeda dari aturan sebelumnya.

“Pemerintah sudah kehabisan akal dan nalar sehingga dengan seenaknya menaikkan iuran tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi masyarakat,” ujar Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar.

Ia menilai bahwa kebijakan menaikkan iuran BPJS saat pandemi Covid-19 berlangsung memperlihatkan bahwa pemerintah tidak mempunyai kepekaan sosial. Padahal, menurut dia, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak oleh Covid-19.

“Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri. Di tengah pandemi dan resesi ekonomi saat ini, putusan MA hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020,” kata Timboel.

DINILAI TAK BEREMPATI
Anggota Komisi XI DPR Saleh Daulay juga menilai, pemerintah tidak memiliki empati kepada masyarakat dengan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19 ini. Ia merasa khawatir banyak masyarakat tidak bisa membayar iuran BPJS Kesehatan sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat.

“Masyarakat di mana-mana lagi kesulitan. Dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut,” ucap dia.
Perpres Nomor 64 Tahun 2020 itu pun rencanya akan digugat lagi ke MA. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) berencana kembali mengajukan gugatan uji materi terhadap aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Baca juga  DPR Minta Kemenhub Berbenah Atasi Tingginya Kecelakaan di Tol

“KPCDI berencana kembali mengajukan uji materi ke MA kembali atas perpres tersebut. Saat ini sedang berdiskusi dengan tim pengacara dan menyusun uji materi tersebut,” ujar Sekjen KPCDI Petrus Hariyanto.

KPCDI adalah organisasi yang sebelumnya menggugat Perpres 75/2019 hingga akhirnya dibatalkan oleh MA. Menurut Petrus, walau ada perubahan jumlah angka kenaikan dalam Perpres Nomor 64, hal itu dirasakan masih memberatkan masyarakat.

“Terlebih saat ini masih dalam situasi krisis wabah Covid-19. KPCDI melihat hal itu sebagai bentuk pemerintah mengakali keputusan MA,” kata Petrus.
Terpisah, MA menegaskan pihaknya tak mencampuri urusan pemerintah soal kenaikan iuran BPJS Kesehatan. “Jika benar Presiden telah menerbitkan Perpres baru yang menaikkan (lagi) iuran BPJS, tentu sudah dipertimbangkan dengan saksama. MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi, sebab hal tersebut merupakan wilayah kewenangan pemerintah,” ujar Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro, Rabu (13/4).

Andi menerangkan, MA hanya berwenang mengadili perkara permohonan hak uji materi terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah undang-undang.

“Itu pun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon, yang mengajukan ke MA,” tuturnya.

DALIH PERBAIKAN LAYANAN
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan alasan pemerintah mengambil keputusan tersebut. Tujuannya untuk menjaga keberlangsungan BPJS Kesehatan sendiri.

“Terkait dengan BPJS sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan. Nah tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan,” ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/5).
Airlangga menjelaskan, iuran untuk Kelas I dan II memang merupakan iuran yang tidak disubsidi pemerintah. Iuran Kelas I dan II memang ditujukan untuk menjaga keuangan BPJS. Sedangkan untuk kelas III baru akan naik tahun 2021. Menurutnya untuk kelas ini pemerintah masih memberikan subsidi.

Baca juga  Kecelakaan Beruntun Tol Cipularang, Jasa Marga Alihkan Arus Lalu Lintas Bandung Menuju Jakarta

“Ada iuran yang disubsidi pemerintah nah ini yang tetap diberikan subsidi. Sedangkan yang lain menjadi iuran yang diharapkan bisa menjalankan keberlanjutan dari pada operasi BPJS Kesehatan,” terangnya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris juga mengatakan penerbitan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 mengembalikan nilai-nilai fundamental JKN.
“Ini mengembalikan ke pada UU BPJS, yang hakekatnya adalah program bersama gotong royong saling kontribusi satu sama lain dan pemerintah hadir. Sangat komit,” kata Fachmi.
Sementara Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengatakan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan sebagai modal perbaikan ekosistem JKN.

Dia bilang, ada tiga alasan pemerintah menerbitkan Perpres 64 tahun 2020 tersebut. Pertama, untuk menjaga sustainabilitas dan kesinambungan dari JKN baik jangka pendek dan menengah dan panjang . Kedua, perbaikan layanan agar bisa dilakukan lebih baik manajemen rumah sakit dan BPJS Kesehatan. Ketiga, sesuai amanat UU, penyesuaian tarif dimungkinkan dua tahun sekali.

“Perbaikan ini kalau kita lihat alhamdulillah manajemen pengelolaan pendanaan di BPJS di 2020 jauh lebih baik dari 2019, defisit BPJS akan lebih kecil dari tahun sebelumnya sehingga membantu cashflow RS di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Sebelum Presiden Jokowi menaikkan lagi iuran BPJS Kesehatan, sebenarnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah berkirim surat rekomendasi kepada Jokowi pada 30 Maret 2020. Surat itu berisi cara mengatasi defisit BPJS kesehatan, tanpa menaikan iuran. Namun, hingga kini Jokowi tak menanggapi rekomendasi tersebut.
Atas berbagai penolakan kebijakan itu, akankah Presiden Jokowi mencabut Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tersebut? 01/ym

Leave a Reply

Your email address will not be published.

News Feed