Menjelang pemilihan gubernur dan wakil gubernur, banyak bertebaran berita di media sosial mengenai keburukan para calon kepala daerah untuk menjatuhkannya. Misalnya foto syur. Bahkan, akibat ini, seorang calon pun mengundurkan diri.
Ketua MUI KH Cholil Nafis menyebut, jelang pilkada adanya penyebaran keburukan calon, misalnya seperti foto, jika tidak berdasarkan fakta, bisa termasuk fitnah. Di Islam dijelaskan, ghibah itu manakala ketika menyebut keburukan orang, dan orang yang bersangkutan tidak setuju, atau berefek pada keburukan orang lain. Tapi kalau menyebut keburukan orang lain tapi tidak dilakukannya, itu namanya fitnah.
“Ini manakala tidak ada kepentingan. Jika untuk kepentingan di pengadilan, bolehlah kita menyampaikan. Atau boleh juga menyampaikan track record orang yang jadi pemimpin, tanpa harus menjelekkan. Jadi menyampaikan data dan fakta siapa pemimpin yang akan dipilih. Itu penting untuk disampaikan meski tidak harus diumumkan di depan publik,” ujarnya kepada majalahnurani.com, Selasa (9/1/2018).
BLACK CAMPAIGN
Untuk itu, sambung Cholil, menyampaikan kondisi calon pemimpin mulai dari track recordnya, prestasinya berikut juga celahnya, itu perlu diketahui agar kita lebih cermat memilih pemimpin.
“Jadi menyebut pemimpin, kalau itu fakta, itu tidak ghibah. Karena siapa yang layak kita ketahui untuk dipilih,” jelas dia.
Bagaimana jika menyebar aib ketika di pilkada? Cholil menegaskan, boleh saja menyebarkan prestasinya termasuk menyampaikan keburukan dengan fakta sebenarnya. Yang penting tidak black campaign. Menyampaikan fakta sebenarnya kalau itu dianggap buruk, dibolehkan. Tapi tanpa harus mencaci maki, tanpa menistakan dan harus menjaga akhlak.
“Baik buruknya pemimpin itu memang perlu diketahui. Agar orang yang memilihnya lebih bijak memilih. Jangan sampai karena tidak tahu, padahal orang yang dipilihnya tidak layak untuk jadi pemimpin,” tegas dia.
HUKUM. HARUS TEGAS
Pengurus Pusat Muhammadiyah KH Muhyidin Junaidi menambahkan, kalau kritik dalam pandangan Islam ketika memilih pemimpin adalah suatu tindakan yang dilakukan secara baik. Tepat sasaran, tidak menjatuhkan mental seseorang. Boleh kalau mengingatkan sesorang atau mengkritik seseorang dengan harapan ada perbaikan orang tersebut.
“Itu namanya kritik. Tapi kalau substansinya sudah melenceng, itu namanya bukan mengkrittik lagi, tapi mengada-ada atau buhtan. Ini yang tidak boleh. Ghibah ini sama diumpamakan seperti seakan-akan anda memakan daging saudara sendiri. Daging saudara yang sudah mati,” ungkap dia kepada majalahnurani.com.
Dia menandaskan, ukurannya memang jelas bahwa dalam Islam itu, kita tidak boleh mencap sesorang yang aneh-aneh. Karena kita tidak boleh memvonis orang itu salah atau tidak benar sebelum ada buktinya. Seperti menyebarkan foto-foto yang belum diketahui kebenarannya. Bukti kuat keterlibatan dalam hal tersebut.
“Nah untuk itu memang ada sanksi bagi orang yang melakukan aneh-aneh, maka dia bisa dituntut berdasarkan hukum yang berlaku. Ketika dia melakukan sesuatu seperti pencemaran nama baik, pemasangan gambar porno atau yang lainnya, maka ketika orang yang bersangkutan tidak bisa menerima dan melaporkannya ke pihak kepolisian, kemudian terbukti, maka yang melakukan pencemaran tersebut jelas akan dikenakan sanksi hukuman,” paparnya.
Dalam Islam, kalau seseorang menuduh orang lain berbuat serong tanpa ada bukti, maka orang yang menuduh tersebut bisa mendapatkan sanksi untuk dihukum cambuk 80 kali. Nah, itu di Indonesia ada hukumnya.
“Maka dilakukan pembuktikan melalui penyelidikan oleh polisi. Dan ketika benar-benar terbukti bersalah, maka hukuman yang digunakan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia,” tandasnya.01/ Bagus