Calon Pemimpin Non Muslim, Bagaimana menyikapinya

Adanya penolakan dari masyarakat Islam dan partai, atas calon pemimpin non muslim, semakin memviral. Sebut saja seperti yang terjadi di Sumatera Utara saat ini. Bahkan ada partai yang mengklaim bahwa penolakan tersebut merupakan aspirasi dari masyarakat setempat. Tentu ini bisa menyulut kekisruhan bahkan gesekan dari masyarakat pendukung dan yang tidak mendukung.

bagaimana umat islami menyikapinya?

Melihat hal tersebut, Ketua Komisi Fatwa MUI Prof Hasanuddin AF mengingatkan, demi keutuhan bangsa maka seharusnya jangan sampai menyinggung suku agama ras golongan. Menurut dia, secara faktual itu kenyataan yang terjadi.

“Ini bisa menimbulkan gesekan,” ungkap dia kepada majalahnurani.com jumat (12/1).

HAK PRIVASI

Ketika memilih, lanjut Hasanuddin, merupakan hak privasi setiap orang. Cuma jangan ditunjukkan secara terbuka dan terang-terangan menunjukkan ketidak setujuannya. Apalagi sampai menimbulkan kekisruhan.

“Kalau tidak setuju, itu bisa dibuktikan di tempat pemungutan suara. Kalau tidak seiman, sebagai umat Islam memang tidak harus dipilih. Tapi itu tidak usah secara terang-terangan menolah bahkan menimbulkan perpecahan,” sambungnya.

Baca juga  EXCEL dengan Berbagi, Pembacaan Sholawat, dan Kenduren di SMA YPM 2 Sukodono

Hasanuddin mengamati, yang jadi masalah, ketika masyarakat Indonesia menyinggung soal suku agama ras dan golongan. Sebab. Ketika secara terbuka ini diutarakan maka akan bermasalah dan membuat keutuhan bangsa tidak aman.

Masalah seperti ini harus diselesaikan dengan penyadaran kepada masyarakat. Masyarakat juga mudah terprovokasi. Seperti diketahui bersama bahwa memilih dan dipilih tertera di undang-undang. Sebagai umat Islam, kita harus menyepakati hal itu. Entah itu muslim, non muslim, harus disepekati dulu undang-undangnya.

“Ini sudah sesuai peraturan. Dan harus kita akui. Ketika memilih atas dasar apapun, agama, suku, maka terapkanlah ketika memilihnya. Kan enggak ada yang tahu dan enggak menimbulkan kekisruhan. Itu hak kita dan tidak salah memilih atas dasar agama. Kalau menimbulkan gesekan karena kita menolak secara terang-terangan maka tidak boleh,” paparnya.

Baca juga  Gelar Khitan dan Donor Darah, YPM ingin Bahagikan Kanjeng Nabi dan Pendiri YPM

JANGAN MEMAKSAKAN KEHENDAK

Pakar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr JM Muslimin menjelaskan, urusan partai dan keagamaan berbeda. Apalagi ada partai yang bukan berbasis Islam.

“Sebagai umat Islam harus bisa membedakan konteksnya, agar tidak terjadi kekisruhan,” kata dia kepada majalahnurani.com.

Misalnya kasus penolakan salah satu pasangan karena non muslim, yang terjadi di Sumatera Utara, harus diketahui bahwa Sumut itu multi agama. “Harap dicatat pula di beberapa daerah juga ada gubernurnya muslim, tapi wakilnya non muslim. Tidak serta merta langsung menolaknya. Itu harus kita perhatikan,” ujar Muslimin.

Menurut dia, jangan kemudian muncul seolah-olah bahwa di daerah itu sama dengan di DKI Jakarta. Secara demografis juga berbeda. secara siyasah fikih, tentu akan memengaruhi.

“Masyarakat tidak boleh memaksakan kehendaknya agar partai pendukung menurutinya,” tambahnya.

Baca juga  EXCEL dengan Berbagi, Pembacaan Sholawat, dan Kenduren di SMA YPM 2 Sukodono

Dijelaskan bahwa diambilnya langkah tersebut merupakan langkah alternatif. Ketika ini dipaksakan, maka tidak logis. Demikian juga ini bukan akhlak seorang politik. Sebab memang ada alternatif yang lain.

Ketika ada pendukung partai dari masyarakat muslim, maka suarakan saja di tempat pemungutan suara, dengan tidak memilihnya. Memilih yang mana dari pasangan-pasangan tersebut. Jangan sampai ketidaksetujuan itu menimbulkan perpecahan dan kekisruan.

“Ini bukan akhlak dari politik Islam. Kecuali memang jalan buntu. Tapi ini kan bukan jalan buntu. Ada alternatif lain. Cukup diungkapkan secara internal atau di TPS. Ada alternatif lain yang bisa dipilih. Kerusuhan, kekisruhan itu jangan dilekatkan dengan Islam,” tandasnya. 01/Bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published.

News Feed