Tentu kita belum lupa dengan berita guru yang tewas setelah dianaya siswanya sendiri. Sekarang ini kembali viral di media bahwa murid sekolah menengah pertama di Jawa Tengah yang berani menantang gurunya berduel hanya karena ditegur sang guru. Lalu bagaimana antisipasi agar kasus serupa tidak terjadi?
Pemerhati Anak Indonesia Andreas Tambah membenarkan jika kejadian seperti ini masih terjadi. Dulu, presentasi guru melawan murid masih kecil. Tapi sekarang jumlahnya naik.
“Untuk saat ini kita perlu keteladanan. Karena pendidikan itu bukan hanya di dapat dari sekolah saja. tapi di rumah, keluarga, lingkungan dan figur,” kata dia kepada majalahnurani.com, Rabu (7/2/2018).
Dari pengamatan mantan Sekjen Komnas Perlindungan Anak, ini bahwa media sosial, yang banyak menyebarkan berita hoax, tayangan kekerasan sangat berpengaruh pada perilaku anak.
“Hampir saat ini banyak anak mendapat edukasi dari lingkungan yang tidak baik. menonton pejabat memaki orang lain, melihat tayangan radikal. Ini kan mudah tertular, ditiru,” tambahnya.
Perlindungan Guru
Sekarang ini, jelas Andreas, banyak LSM mengatasnamakan perlindungan anak malah membela anak ketika ditegur, diberi hukuman gurunya. Padahal guru menegur itu untuk mendidik muridnya. Tapi kenyataanya malah sekarang guru juga banyak dipenjara.
“Hukum kita sekarang ini memberi peluang untuk menganiaya guru. Sehingga sekarang ini guru ketika mengajar lebih banyak diam. Tidak menegur, menjewer atau menghukum. Bahkan saat muridnya dihukum lari saja, guru ini bisa masuk penjara. Hak perlindungan guru ini tidak ada,” jelasnya.
Pada dasarnya guru itu ingin membentuk anak menjadi baik. Memang pada suatu ketika guru juga bisa marah. Guru itu manusia biasa yang juga marah. Pada saat menghadapi kasus ketika menghukum murid, maka tidak ada pembelaan kepada guru. Di persidangan pun guru menjalani sendiri tanpa perlindungan.
“Guru seharusnya dilindungi. Misalkan kalau pada kasus itu terjadi pemukulan kepada guru tersebut, maka bisa dilaporkan ke polisi. Anak yang melakukan pemukulan kepada guru, memang hukumannya ringan. berbeda ketika guru melakukan pemukulan ke murid, maka hukumannya berat. Saya kira guru juga harus berani melapor ketika ada murid yang melecehkan atau bahkan memukul,” tegasnya.
Penanaman Karakter
Pengamat Pendidikan Bambang Suryadi menyatakan, kasus beraninya seorang murid kepada gurunya karena pemahaman anak tentang esensi pendidikan yang telah tereduksi dari proses transfer ilmu pengetahuan dan penanaman nilai-nilai moral (akhlak) menjadi proses transfer pengetahuan saja.
“Mereka berpandangan belajar itu hanya untuk kepentingan ilmu saja, tidak dikaitkan dengan pembentukan kepribadian dan akhlak, ungkapnya kepada majalahnurani.com,” Rabu (7/2/2018).
Bambang yang juga menjabat sebagai Kepala Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengaku prihatin. Malahan, kata dia, yang lebih parah lagi ada sebagian siswa yang memposisikan dirinya sebagai ‘tuan’ kepada guru. Dia (siswa tersebut) merasa membayar iuran untuk gaji guru.
“Yang terjadi akhirnya memperlakukan guru semaunya saja,” sambung dosen Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Lalu bagaimana meminimalisir kejadian seperti ini tidak terulang lagi? Bambang menegaskan, orang tua melalui pendidikan di rumah harus menanamkan karakter sejak dini melalui pembiasaan dan keteladanan.
Ketika anak mulai masuk sekolah, guru melakukan peran sebagai pendidik. Sehingga yang terjadi yakni saling melengkapi.
“Tiga unsur pendidikan yang saling melengkapi yaitu rumah, sekolah dan masyarakat,” tandasnya.
Arahkan ke Hal Baik
Pakar Pendidikan Karakter Surabaya Miftah Jauhari menjelaskan, dari kasus di atas, banyak faktor yang mempengaruhi suatu keputusan atas suatu tindakan. Intinya baik itu tindakan yang dinilai beretika atau sebaliknya adalah hasil dari akumulasi banyak faktor.
“Beberapa ahli pendidikan etika membagi setidaknya 3 faktor ; yaitu dirinya sendiri, lingkungan terdekat (keluarga, teman, lingkungan sekitar) serta referansi yang didapatkan diluar (tv, film, koran, internet, dsb),” tutur dia.
Pria yang akrab disapa Gus Miftah ini mengamati, kejadian viral murid menantang gurunya itu pelakunya remaja. Maka memang (menurut ahli kejiwaan) masa remaja adalah masa pencarian, pengejaran yang dalam beberapa referensi disebutkan sebagai kondisi dimana jiwa bergejolak mencari (untuk mendapatkan) jati diri sedang lebih dominan, sehingga secara instinktif masa remaja adalah masa pergolakan.
“Tinggal kearah mana pergolakan diarahkan. Apakah pada hal dan dengan cara yang baik atau malah sebaliknya. Ada 4 pilihan kuadran terkait dengan arah dan cara mencapainya. Hal baik cara baik. Hal baik cara tidak baik. Hal buruk cara baik dan hal buruk cara buruk,” jelas pengasuh majelis kitab Ta’lim Al Muta’alim Surabaya itu.
Terkait dengan kondisi ini, kata Miftah, maka menjadi sangat menentukan faktor ke (2) dan ke (3) sebagai variabel yang mempengaruhi perilaku remaja. Keluarga, teman, serta lingkungan dimana mereka berinteraksi sangat mempengaruhi keputusan tindakan seorang remaja. Juga referansi yang masuk dan diterima secara penginderaan melalui media-media juga berpengaruh terhadap keputusan atas suatu perilaku (remaja).
Dia mengamati, adanya murid yang tak menghormati guru adalah permasalahan yang disebabkan oleh suatu kondisi yang tidak berdiri sendiri. Banyak faktor terkait satu sama lain yang saling mempengaruhi dan menjadi sebab-sebab.
Lalu bagaimana mengatasinya? Merujuk pada beberapa ahli pendidikan etika, untuk para remaja dimasa-masa pergolakan, disarankan untuk mengarahkan kecenderungan jiwanya pada hal-hal yang baik.
“Berani (saja’ah) ke arah yang baik. Berani sendiri adalah suatu kondisi tengah antara nekat dan pengecut. Dan tentunya diperlukan latihan-latihan untuk mencapai kondisi jiwa seperti ini. Dan memperhatikan situasi sekarang ini, baik lingkungan, mainstrem pergaulan dan informasi media sosial maka diperlukan latihan-latihan yang serius dan berkesinambungan,” saran Sekertaris Majelis Wakil Cabang NU Gubeng Surabaya ini.01/ Bagus