Polisi akhirnya berhasil menangkap anggota grup WhatsApp Muslim Cyber Army (MCA). MCA ini merupakan sindikat penyebar isu-isu provokatif di media sosial. Konten-konten yang disebarkan pelaku meliputi isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia, penculikan ulama dan pencemaran nama baik presiden, pemerintah, hingga tokoh-tokoh tertentu. Pelaku juga menyebarkan konten berisi virus pada orang atau kelompok lawan yang berakibat dapat merusak perangkat elektronik bagi penerima.
ANGGOTANYA RATUSAN RIBU
Kepala Subdirektorat I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Irwan Anwar menerangkan, sudah ada pelaku yang ditangkap. Lima diantaranya ditangkap di tempat yang berbeda. pelaku ini adalah ML di Tanjung Priok, RSD di Pangkal Pinang, RS di Bali, Yus di Sumedang, dan RC di Palu.
Menurut dia, jumlah anggota MCA mencapai ratusan ribu. Hingga kini polisi masih mendalami pemeriksaan untuk mengungkap motif MCA ini.
“Ada satu admin lagi diketahui masih berada di luar negeri,” ujarnya Selasa (27/2/2018).
HARUS WASPADA
Pakar Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr JM Muslimin menyatakan, siapapun yang membawa label nama Islam, haruslah memperhatikan akhlak dan kaidah Islam dalam kaitannya pekerjaan apapun. Kaidah akhlak itu yakni jauhi fitnah, hibah dan adu domba.
“Kalau yang bicara wartawan maka itu fakta. Kalau peneliti maka kebenaran. Kalau dia mubaligh maka yang disampaikan adalah kerahmatan. Itu adalah akhlak dan etika Islam,” tuturnya kepada majalahnurani.com, Rabu (28/2/2018).
Siapa yang tidak sesuai akhlak itu, papar Muslimin, apalagi bertentangan maka kelompok yang mengatasnakaman MCA dan membawa nama Islam, belum bisa dikatakan Islam. Menyikapi adanya pembenaran bahwa orang Islam seperti itu, karena mengatasnamakan kelompok muslim, lanjut Muslimin, sebagai orang yang jeli, mohon maaf ketika ada seseorang yang membunuh, entah itu Islam, Budha, atau yang lain, maka disimpulkan orang Islam itu pembunuh.
“Kan tidak seperti itu. Anggapan kesimpulan bahwa orang Islam seperti itu, maka tidak proporsional. Jadi hindari kesimpulan yang bersifat over generalisasi,” tambahnya.
Dari kasus tersebut, Muslimin mengimbau agar masyarakat berhati-hati ketika menyebar informasi. Dalam Islam ada istilah tabbayun. Informasi, berita apapun harus dikroscek akurasinya. Kemudian yang kedua harus berorientasi pada kemaslahatan. Kemaslahatan lebih besar harus menjadi pertimbangan utama. Bukan kemaslahatan yang bersifat individu. Inilah yang menjadi dasar dalam konteks beragama.
“Itu pesan alquran,” katanya.
TIDAK SESUAI SYARIAT
Menanggapi soal itu, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Hasanuddin AF menyayangkan kelompok penyebar hoaks dan ujaran kebencian. Tahun 2017 lalu, Komisi Fatwa MUI telah mengeluarkan Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial.
Fatwa itu dinilai Hasanuddin keefektifannya tergantung pribadi masing-masing individu. Sejauh mana keberagaman seseorang, keislaman seseorang, tanpa fatwa pun lanjut dia, harusnya sudah tahu mana yang benar salah, halal haram.
“Fatwa tersebut menjelaskan bagaimana para cendekiawan Muslim memandang penggunaan media sosial. Bagi yang beragama Islam, harus menghindari segala hal yang dilarang agama,” ungkap dia.
Menurut dia, maraknya penyebar hoaks dan ujaran kebencian didasari suatu kepentingan, baik pribadi, politik, atau kelompok. Untuk itu dia mengimbau masyarakat agar menyadari arti hidup agar digunakan untuk hal-hal bermanfaat.
Ditegaskan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini bahwa ajaran Islam tak pernah mengajarkan umatnya menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian.
“Kontennya tak sesuai dengan syariat Islam,” tandasnya. 01/Bagus