Ulama Perempuan Indonesia: Perkawinan Anak Perlu Dicegah

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) sepakat bahwa perkawinan anak harus dicegah karena banyak menimbulkan bahaya bagi masa depan anak, keluarga, masyarakat dan negara.

Dalam pembahasan diskusi grup ini, PPPA juga bersama Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP – RI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kongres Ulama perempuan Indonesia (KUPI) dan para peserta Focus Group Discussion, mengambil tema Stop Perkawinan Anak dan diselenggarakan hari ini di Gedung  DPR RI Jakarta.

Kementerian PPPA yang diwakili oleh Lenny Rosalin diundang sebagai salah satu narasumber, bersama dengan dr. Ulla Nuchrawaty sebagai praktisi medis dan Ketua KUPI, Dr Hj Badriyah F.

KESIAPAN USIA

Ketua Kongres Ulama Perempuan Indonesia, Hj Badriyah mengatakan bahwa selama ini, sebagian masyarakat Indonesia memiliki anggapan bahwa perkawinan anak dapat mengentaskan kemiskinan dan sebagai jalan keluar untuk menghindari fitnah atau perzinahan.

Namun, alangkah lebih baiknya jika kita mempersiapkan generasi muda untuk melakukan perkawinan karena lebih bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, sakinah, terhindar dari perceraian, dan bukan sekedar melegalkan hubungan seksual.

“Menikah itu memang sebaiknya sesuai pada kesiapan usia masing-masing individu supaya dapat menekan angka perceraian dan resiko-resiko lainnya. Intinya kita bukan melarang orang untuk menikah, namun perkawinan anak bukanlah jalan keluar untuk menghindari perzinahan dan hal negatif lainnya,” tegas Badriyah dalam rilis yang diterima majalahnurani.com Jumat (4/5/2018).

Diungkapkan, perkawinan anak perlu dicegah karena memiliki dampak, antara lain: meningkatnya angka drop-out karena sebagian besar anak yang menikah di bawah usia 18 tahun adalah tidak melanjutkan sekolahnya.

Akibat pada kesehatan ibu dan anak, seringkali bahkan berakhir pada kematian ibu dan bayi. Dampak ekonomi yang muncul antara lain pekerja anak, dan sebagian harus terpaksa bekerja, yaitu di sektor informal dengan upah rendah dan bahkan tanpa perlindungan sosial.

Ketiga hal tersebut (pendidikan, kesehatan dan ekonomi) merupakan faktor untuk menghitung angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dampak lain adalah terjadinya KDRT dan bahkan berakhir dengan perceraian.

Untuk itu, pencegahan perkawinan anak memang sudah menjadi tanggung jawab kita, para orang tua, pendidik dan lingkungan di sekitar anak untuk mencegah anak-anak masuk dalam pergaulan yang negatif,” ujar Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny Rosalin.

5 STRATEGI

Berbagai upaya juga sedang dilakukan oleh Kementerian PPPA untuk fokus mencegah perkawinan anak, dengan menerapkan 5 strategi sasaran, yakni 1) target pada anak dengan membentuk Forum Anak hingga tingkat desa; 2) target pada keluarga, melalui Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), 3) melalui sekolah dengan inisiasi Sekolah Ramah Anak (SRA); 4) target pada lingkungan (masyarakat) antara lain dengan mengembangan Pusat Kreativitas Anak (PKA) dan Ruang Bermain Ramah Anak (RBRA)  serta membangun dialog dengan pemangku kepentingan, terutama toga, toma, todat, serta bermitra dengan lembaga masyarakat, dunia usaha dan media; 5) target pada wilayah dengan menginisiasi Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA).

Tujuan akhir Indonesia Layak Anak (IDOLA) 2030 tidak akan bisa dicapai jika perkawinan anak masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, terdapat 23 provinsi di Indonesia memiliki angka perkawinan anak di atas angka rata-rata nasional.

Sejauh ini, Kementerian PPPA juga mendorong revisi regulasi terutama fokus pada 2 poin, yakni menaikkan usia perkawinan, dan mengatur dispensasi.

“Kita perlu memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa perkawinan anak justru menimbulkan banyak masalah. Dengan kondisi anak yang belum memiliki kesiapan mental, fisik, dan materi untuk melakukan perkawinan, justru akan beresiko bagi diri mereka sendiri dari berbagai aspek,” urainya.

Pendidikan bagi anak, tegas dia, terutama anak perempuan merupakan salah satu jalan keluar untuk menjawab permasalahan ini. Anak perempuan kelak akan mengemban tanggung jawab sebagai seorang ibu dan menjadi tiang utama bagi pendidikan anaknya, yang akan menjadi generasi penerus bangsa.

“Mencegah perkawinan anak bukan hanya sekadar menunda usia perkawinan anak namun kita sedang mempersiapkan generasi bangsa yang berkualitas juga,” tutup Lenny. 01/Bagus

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *