Publik dibuat kaget mengenai status halal produk-produk seperti tuak, beer, dan wine mendapat sertifikat halal.
Hal itu kembali mencuat setelah munculnya laporan viral di media sosial yang menyatakan bahwa produk-produk tersebut telah mendapatkan sertifikat halal.
Menanggapi isu ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengambil langkah tegas untuk melakukan klarifikasi dan investigasi.
Aishah Maharani, Direktur Halal Corner, menegaskan bahwa metode Self Declare yang diterapkan dalam penetapan halal tanpa melalui audit dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) berpotensi merusak reputasi Indonesia di mata dunia internasional.
“Metode ini sering menimbulkan masalah. Jika tidak ada perbaikan, sebaiknya metode ini dihapus saja,” ungkap Aishah dikutip dari laman MUI, Selasa (1/10/2024).
Dalam forum tersebut, Aishah menekankan bahwa sistem jaminan produk halal seharusnya tidak bergantung pada pernyataan semata dari pelaku usaha.
“Perlu adanya audit untuk memastikan kehalalan produk,” tegasnya.
Dia juga mengusulkan untuk membuat sistem sertifikasi halal gratis dengan metode reguler, di mana Pendamping Proses Produk Halal (P3H) akan mendampingi usaha mikro sebelum pendaftaran sertifikasi halal.
MUI, yang dipimpin oleh Prof. Asrorun Niam Sholeh, melakukan investigasi untuk menelusuri validitas laporan tersebut. Dari hasil investigasi, terkonfirmasi bahwa produk-produk tersebut memang telah mendapatkan sertifikat halal dari BPJPH melalui jalur Self Declare, tanpa audit dari LPH dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI.
“Penetapan halal ini menyalahi standar fatwa MUI dan tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Prof Niam.
Lebih lanjut, Prof Niam menyatakan bahwa MUI akan berkoordinasi dengan BPJPH untuk mencari solusi agar insiden serupa tidak terulang. Ia menjelaskan bahwa penerbitan sertifikat halal harus mengacu pada standar halal yang ditetapkan oleh MUI.
“Penggunaan nama dan simbol yang terkait dengan produk haram, termasuk minuman memabukkan, tidak diperkenankan,” ujarnya.
Sebagai bagian dari fatwa MUI, terdapat empat kriteria yang harus dipatuhi dalam penggunaan nama dan bahan, di antaranya adalah larangan menggunakan nama atau simbol yang berasosiasi dengan kekufuran atau kebatilan. Prof. Niam juga mengingatkan semua pihak yang terlibat dalam proses penetapan kehalalan produk untuk lebih teliti dan memperhatikan aspek-aspek krusial dalam proses tersebut.
“MUI akan konsolidasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa mendatang. Kepercayaan publik sangat penting untuk penjaminan produk halal. Jika kepercayaan masyarakat hilang, itu akan berdampak buruk bagi semua usaha kita,” pungkasnya. (Ym)