Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi adanya kebijakan penerapan sertifikat layak kawin. Salah satu yang menerapkan yakni DKI Jakarta. Menurut MUI kebijakan itu perlu dikaji apakah sudah sesuai kebutuhan masyarakat.
PEMERIKSAAN MEDIS
Ketua Dewan Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis, memaparkan bahwa ide awalnya sertifikat itu bagus. Tetapi, tegasnya, harus lebih jeli.
“Pertama, setiap orang menikah itu punya anak dan syarat sahnya menikah itu juga tak harus mampu untuk melahirkan. Syarat sahnya nikah, laki-perempuan mampu menjalankan hubungan sebagai suami-istri,” ujarnya, Sabtu (12/1/2019).
Sebagaimana diketahui, penerapan kebijakan sertifikat layak kawin itu didapat calon pengantin setelah melakukan serangkaian pemeriksaan medis sebelum sah menjadi suami-istri.
Kebijakan itu tertulis dalam Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Nomor 185 Tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan bagi Calon Pengantin.
Peraturan itu dikeluarkan Gubernur Anies Baswedan sejak akhir 2017 dan diterapkan mulai awal 2018. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Khafifah Any mengatakan program ini sangat baik dijalankan karena setiap anak yang dilahirkan bisa menjadi generasi penerus yang sehat dengan berawal dari kedua orang tuanya.
Namun MUI melihatnya kebijakan tersebut tak perlu dikaitkan ke kondisi anak. Sebab, pernikahan yang sah juga tak mewajibkan memiliki anak.
Soal punya anak dan tidak punya anak, sambung Cholil, itu bukan kewajiban atau syarat dalam pernikahan. Kalau salah satu pasangan punya penyakit lalu khawatir menularkan, tidak dilarang menikahnya, tapi dilarang untuk hamil, umpanya karena dikhawatirkan menurut dokter akan berbahaya.
“Tapi menikahnya ketika menemukan orang yang sama-sama penderita penyakit yang sama, lalu dia melakukan pernikahan kan tidak harus punya anak, oleh karena itu perlu disempurnakan sertifikat menikah itu,” urainya.
HUKUM ISLAM
Untuk itu MUI menyarankan agar kebijakan tersebut dilihat kembali efektivitasnya ke masyarakat. Sebab, apabila tidak mengikat masyarakat, peraturan yang dikeluarkan Anies hanya sia-sia.
Selain itu yakni konsistensinya bagaimana aturan itu efektif, sekiranya aturan tidak bisa efektif, tidak bisa dijalankan masyarakat, tak mengikat pada masyarakat, maka peraturan itu hanya sia sia.
Peraturan harus berdasarkan kebutuhan publik, mengatur demi kesempurnaan. Oleh karena itu, kata Cholil, dalam perkawinan tidak lepas dari hukum Islam, Islam tak pernah melarang orang menikah karena punya penyakit selama ia mampu menjalankan kehidupan berkeluarga dalam suami-istri.
“Yang kedua, tidak setiap menikah itu wajib punya anak, sehingga tak menjadi alasan tidak boleh menikah karena takut punya anak yang lemah,” tegasnya. 01/Bagus